Menilik perkembangan sastra, karya sastra pada khususnya, tentunya tidak bisa terlepas dari perkembangan jaman itu sendiri. Perkembangan yang setiap saat terjadi di masyarakat mau tidak mau berpengaruh terhadap perkembangan karya sastra. Kalau Marx pernah bilang, materi bergerak sesuai jamannya itu tidak salah. Hal seperti itu berlaku pada dunia sastra. Di mana karya sastra sebagai materi ditentukan oleh para pelaku (sastrawan) di bidang sastra sesuai dengan jamannya. Maka, tidak heran bila selalu terjadi perkembangan dalam karya sastra.
Perkembangan ini juga meliputi pergeseran-pergeseran nilai yang hidup dalam dunia sastra. Pergeseran nilai itu terjadi karena pemahaman sastrawan terhadap kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini, bagaimana seorang sastrawan memahami perkembangan sosial, politik, dan spiritualitas di tengah-tengah masyarakat yang terus bergerak. Meski demikian, kenyataan ini tidak menjadi sesuatu hal yang mengekang imajinasi para sastrawan untuk menghasilkan suatu karya yang inovatif dan bernilai sastra tinggi. Karena pada dasarnya, seorang sastrawan berkarya dengan merenungkan segala hal yang terjadi pada kehidupan secara luas dan dirinya sendiri, sehingga hasil karyanya layak untuk dibaca oleh masyarakat.
Namun yang menjadi persoalan, adalah ketika ada karya sastra yang kemudian dianggap tidak memiliki nilai-nilai luhur secara sastrawi oleh sidang pembaca. Mungkin, persoalan seperti ini dikarenakan inabillity atau ketidakcakapan sastrawan dalam berkarya yang sesuai dengan nilai-nilai sastrawi, dan kekurangpekaan sastrawan terhadap perkembangan di masyarakat dalam menyajikan karyanya. Atau, faktor lainnya adalah masalah citarasa, like or dislike, pembaca terhadap karya yang hadir tersebut.
Mengenai persoalan kemampuan berbahasa dan kepekaan sosial, dua hal tersebut sangat teknis dan bisa dilatih oleh sastrawannya sendiri. Akan tetapi persoalan citarasa masyarakat terhadap karya sastra, ini yang agak susah untuk “dilatih” kepada masyarakat. Apalagi masyarakat kita (Indonesia) yang terkenal cukup konsumtif. Sebagian besar masyarakat kita lebih suka dengan produk instan, yang mudah dicerna. Sehingga untuk persoalan-persoalan yang sedikit “berat” harus dipaksakan. Kurang lebih itulah yang terjadi dengan karya sastra yang dibaca masyarakat di negeri kita ini. Hanya sedikit saja masyarakat pembaca yang cukup intens dengan persoalan serius dalam membaca karya sastra. Masyarakat yang sedikit ini adalah: para penggiat sastra, akademisi sastra, dan pemerhati sastra.
Begitu juga yang terjadi dari masa ke masa, hingga isu karya sastra populer merebak dan menjadi perbincangan klise yang seolah tak bisa dihentikan. Berbicara karya sastra populer, berarti berbicara juga masyarakat pembacanya. Karya sastra populer yang berorientasikan pasar diharuskan mampu untuk menjangkau masyarakat sesuai dengan ruang dan waktunya. Hal ini berarti pula, bahwa karya sastra populer ditentukan oleh waktu. Waktu yang meliputi masyarakat yang hidup dan perkembangan jaman yang berlangsung. Romeo and Juliet pada masanya adalah karya satra yang populer, tapi waktu yang bergulir membuat karya William Shakespears ini menjadi karya yang hebat.
Seperti halnya pada masa-masa pra kemerdekaan Indonesia, masyarakat kita mengenal sastra melayu rendah. Jakob Sumardjo, menuliskan dalam bukunya Kesusastraan Melayu Rendah (Galang Press, 2004) perkembangan sastra melayu rendah ini dipengaruhi poleh penggunaan bahasa dalam karya sastra pada masa tersebut. Di mana kebanyakan para penulis Tionghoa memakai bahasa melayu pasar—bahasa yang kemudian jadi bahasa nasional Indonesia—dalam karya-karyanya. Dan, masyarakat pada masa itu memilih karya-karya sastra melayu rendah untuk dibaca, karena faktor kemudahan dalam membaca.
Sejarah berlanjut, karya-karya seperti Wiro Sableng, yang sampai ratusan serinya, tetap hadir sampai hari ini karena ada pembacanya. Atau, karya-karya yang ditulis oeh Marga T. dan Mira W. yang kemudian sempat diadaptasi menjadi sinema elektornik (sinetron) masih terus saja hadir di khazanah kesusastraan Indonesia. Meski tidak ada dampak yang signifikan dari karya-karya semacam ini. Namun tetap saja ada masyarakat yang menggemarinya.
Kemudian masyarakat sastra kita sempat heboh dengan ramainya penerbitan chicklit dan teenlit. Dalam tiga tahun terakhir perbincangan–perbincangan karya sastra seperti ini ramai di diskusi-diskusi sampai di ruang-ruang akdemik. Namun pada akhirnya, kemunculan chicklit dan teenlit ini ditelan oleh masifnya penerbitan karya sastra pop islami, isltilah Ahmadun Yosi Herfanda, yang digawangi oleh Forum Lingkar Pena (FLP). Para penulis karya yang disebutkan terakhir memiliki kecendrungan mengikuti gaya kepenulisan Pipiet Senja itu, kini tengah berhasil meraih pasar pembaca di negeri ini. Dengan demikian, bahwa maraknya karya sastra populer juga melahirkan para epigon-epigon baru yang mengekor pada keberhasilan seorang penulis dalam meraih pembacanya. Karena dengan memiliki keberhasilan yang sama, penulis jenis ini sudah merasa puas, mungkin (semoga pernyataan saya ini salah). Namun, akankah di masa mendatang karya-karya populer ini menjadi hebat seperti Romeo and Juliet karya Shakespears.Sesungguhnya tidak ada yang yang salah dengan penerbitan-penerbitan karya sastra populer seperti itu. Karena dengan membaca karya sastra populer masyarakat kita digiring untuk menjadi masyarakat literer. Namun permasalahannya, apakah masyarakat kita akan terus dididik untuk menjadi masyarakat instan, pembaca yang hanya membaca karya yang remeh temeh.
Yopi Setia Umbara, Ketua ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra) UPI. Tulisan ini disampaikan pada diskusi sastra Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia (GBSI) 2007 Hima Satrasia, Bumi Siliwangi, 9 April 2007.
dari Isola Pos
Perkembangan sastra
Diposting oleh henscyber di 5/24/2008 06:28:00 AM
Label: Sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar