Saat Seni Tradisional Menjadi Beban

KOMPAS 20/02/2010

Oleh Luki Muharam

Setiap Jumat malam puluhan pendekar dari beberapa padepokan berkumpul di studio Radio Stasiun Pemerintah Daerah (RSPD) Kabupaten Cianjur. Di stasiun milik Pemerintah Kabupaten Cianjur ini secara bergiliran mereka menunjukkan kebolehannya ngibing atau menari pencak silat.

Pendekar yang tampil diiringi secara live oleh nayaga gendang pencak yang menabuh gendang indung, gendak anak, trompet, gong, dan rebab. Pesilat yang rata-rata datang dari pedesaan itu semangat sekali ngibing. Padahal, mereka tidak dilihat "penonton"-nya karena tampil hanya di stasiun radio.

Mereka tidak dibayar, tetapi malah sebelumnya para pengibing yang umumnya buruh tani itu rela "patungan" mengumpulkan uang untuk menyewa kendaraan bak terbuka agar dapat mengangkut mereka dan perangkat seni dari kampung agar dapat tampil ngibing di RSPD Cianjur.

Menurut catatan Persatuan Pencak Silat Seluruh Indonesia (PPSI) Cabang Cianjur, hampir di 32 kecamatan di Cianjur masih terdapat satu atau dua padepokan silat. Namun, kondisinya rata-rata sudah mati suri karena ditinggalkan warga yang menontonnya. Pergelaran ibing pencak silat paling sering terdengar di sekolah dasar. Itu pun diiringi kaset. Kalaupun diiringi nayaga, biasanya saat samen atau setiap selesai pembagian rapor kenaikan kelas SD di pedesaan.

Di perkotaan jangan harap dapat melihat pentas ibing pencak silat di setiap sekolah. Itu karena ibing pencak silat umumnya sudah tidak digandrungi. Apalagi, di SMP atau SMA siswa dan gurunya lebih suka menampilkan grup band aliran pop atau rock ketika mengadakan pesta akhir tahun pelajaran. Tidak teratur

PPSI sebenarnya sudah berupaya agar pesilat dapat berlaga di panggung dengan mengadakan Pandiangan Seni Ibing Pencak Silat secara bergilir di setiap kecamatan di Cianjur. Namun, pelaksanaannya semakin tidak teratur dan kemudian menghilang, lagi-lagi karena minim anggaran dan tidak ada sponsor.

Keadaan seperti itu berimbas pula pada industri pembuatan alat seni gendang pencak, yakni perajin gendang dan gong, seperti yang dialami Sunarya (65), pembuat gendang dan gong silat. Warga Desa Cibaregbeg, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, ini mengaku saat ini menjadi perajin gendang dan gong silat sudah tidak bisa lagi dijadikan lahan mencari nafkah keluarga karena sepinya order. Dalam setahun paling-paling hanya dapat satu pesanan.

Kondisi seperti itu mulai ia rasakan sejak akhir tahun 1980-an saat kehidupan warga di perkotaan mulai meninggalkan panggung pertunjukan seni ibing silat. Warga kini lebih tertarik mengundang orkes dangdut atau band dalam setiap hajatan keluarga. Dahulu Sunarya masih ingat saat suara gendang pencak masih terdengar di setiap gang di Kota Bandung, hampir setiap malam Minggu.

Pada saat itulah ia pun marema order membuat gendang dan gong. Dari keuntungannya itu, ia pun dapat membuat rumah permanen dan membeli sawah. Namun, hal itu kini tinggal kenangan, dan alat-alat membuat gendang dan gong ibing pencak silat lebih sering ia simpan di gudang.

Keadaan yang mengenaskan seperti itu dialami pula oleh Tati Sawitri (55), juru kawih tembang Cianjuran. Ibu empat anak ini tetap setia tampil walau tanpa dibayar setiap Senin malam di RSPD Cianjur. Ia mengaku sudah jarang sekali mendapat panggilan tampil. Saat ini sekadar mendapat order sekali sebulan saja sudah lumayan. Untuk setiap kali tampil, juru tembang dan empat orang nayaga Cianjuran rata-rata mendapat Rp 500.000. Ironisnya honor sebesar itu kemudian mereka bagi rata dengan teman-temannya. Masih lumayan

Menurut Abah Ruskawan, Ketua Paguyuban Pasundan Cianjur, kondisi pesilat dan seniman Cianjuran masih terbilang lumayan dibandingkan dengan seni tradisional lain di Jawa Barat. Apalagi, pencak silat dan seni Cianjuran kini, oleh beberapa pemerintah daerah/kota di Jabar, sudah dimasukkan menjadi kurikulum muatan lokal di SD. Namun, pelaksanaannya sangat tergantung kemampuan keuangan setiap sekolah. Abah memperkirakan sedikitnya terdapat 300 seni tradisional khas Sunda di Tanah Air yang kini punah atau hampir punah. Dan sepertinya, kondisi seperti itu kemungkinan dialami sebagian besar seniman tradisional di Tanah Air. Perhatian setiap pemerintah daerah masih ada, misalnya dengan memberikan anggaran dari APBD, walaupun biasanya birokrat mengalami keterbatasan dana dalam menjaga kelestarian seni tradisional di masing-masing daerah.

Tampaknya bila sudah seperti itu, alangkah bijak bila kemudian berkaca kepada Provinsi Bali yang berhasil mengemas seni tradisional menjadi aset daerah berharga yang membuat Pulau Dewata ini terkenal ke seluruh dunia. Bali berhasil menjadikan beragam seni tradisional daerah menjadi sumber utama pendapatan asli daerah, di saat hampir setiap pemerintah daerah lain di Tanah Air masih memperlakukan seni tradisional sebagai beban APBD.

Hal itu sepertinya diikuti pula oleh perhatian sebagian pengusaha yang menyumbang kegiatan seni tradisional sebagai amal ala kadarnya, bukan sebagai sebuah peluang yang menguntungkan perusahaannya. Ini masih lebih baik ketimbang tidak peduli sama sekali terhadap upaya pelestarian seni tradisional.

LUKI MUHARAM Penggiat Lembaga Kebudayaan Cianjur



Baca Selengkapnya »»

Teori Mazhab Tagmemik


Tagmemik memandang bahasa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan sebagai konteks tingkah laku manusia. Dalam pmerian bahasa Tagmemik memperhitungkan fonologi, morfologi, sintaksis, makna dan konteks secara serentak.

Tagmemik menekankan keketatan pembagian tataran dalam pemerian bahasa, yakni dengan menghindari percampuradukan tatatan dalam analisis karena masing-masing tataran menduduki fungsi khusus dalam satu hirarki. Yang dimaksud dengan hirarki ialah bahwa unsur-unsur bahasa mengikuti suatu aturan dari yang tekecil sampai dengan yang terbesar. Suatu satuan yang besar terdiri dari satuan-satuan yang lebih kecil, dan satuan-satuan yang lebih kecil terdiri dari satuan-satuan yang lebih kecil lagi, sampai pada satuan-satuan terakhir. Tataran di atas tergantung pada tataran di bawahnya dan semuanya saling berhubungan.

Teori Tagmemik menggunakan alat pemerian yang memilahkan padangan etik dan pandangan emik. Etik adalah sauatu satuan yang merupakan bagian dari tingkah laku tutur maupun tingkah-laku nontutur, disebut etik apabila manifestasi diamati, dipikirkan dan diukur secara imprsionistis oleh pengamat atau peneliti sebagai orang luar. Suatu satuan disebut emik bila satuan tersebut meruakan suatu bagian dari suatu sistem tertutup, bukan menurut pengamat maupun peneliti (orang luar). Prinsip etik dan emik merupakan dasar epistemologis teori tamemik yang menemukan pola dan makna pada ada yang ditelitinya. Secara lengkap dan terperinci perbeadaan konsep etik dan konep emik adalah sebagai berikut:

EMIK
1. Mengamati satu kebudayaan atau bahasa secara khusus.
2. Satuan lingual ditentukan oleh apa yang ditemukan di lapangan pada waktu meneliti suatu bahasa.
3. Struktur bahasa yang ditemukan waktu meneliti dan telah diujikan pada penutur asli.
4. Pandangan internal (orang dalam) mengenai suatu sistem berdasarkab kriteria yang ada dalam sisten itu sendiri.
5. Kriteria bagi suatu pandangan bersifat relatif (nisbi) menurut sifat-sifat internal.
6. Suatu satuan mempunyai hubungan fungsional dan struktural dengan satuan yang lebih besar dan bersama-sama membentuk hierarki.
7. Dua satuan etik dinyatakan berbeda bila pengukuran dengan alat bantu menunjukan adanya perbedaan.
8. Data etik diperoleh dari analsis yang bersifat sementara atau sebagian

ETIK
1. Mengamati semua kebudayaan atau suatu kelompok yang dipilih secara bersama- sama secara komparatif
2. Pandangan tentang satuan lingual sebelum mengadakan penelitian lapangan mengenai suatu bahasa, seperti ramalan pola-pola berdasarkan pola behasa peneliti.
3. Struktur bahasa yang diperkirakan sebagai hasil kreasi peneliti sebelum diuji pada penutur asli.
4. Pandangan eksternal (orang luar) mengenai suatu sistem.
5. kriteria bagi suatu pandangan bersifat mutlak dan dibangun menurut dasar penalaran peneliti dan mungkin dapat diukur dangan nyata dan langsung memakai alat.
6. Suatu satuan tidak perlu dipandang sebagai bagian dari satu-satuan yang lebih besar.
7. Dua satuan emik berbeda bila satuan-satuan tersebut menghasilkan tanggapan yang berbeda pada penutur asli.
8. Data emik menurut pengetahuan yang utuh tentang keseluruhan sistem dan merupakan data akhir.



Baca Selengkapnya »»

Kasus WC



Fikri Ariyanto*
lampung post, agustus 2009

WC atau Water Closet adalah nama populer bagi tempat kita biasanya berak. Nama atau istilah tersebut asing tentunya. Asing namun telah akrab di telinga karena kita menganggap lebih enak didengar dibandingkan dengan kakus atau jamban.

Sama halnya dengan istilah asing lain seperti AC atau Air Conditioner. Menggeser istilah Indonesia yang telah ada. Sejenak lewatkan dulu kisah klasik mengenai membabibutanya kita terhadap bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Kali ini kita akan sedikit mengorek-ngorek WC dan C lainnya.

Selama ini huruf C biasa kita lafalkan sebagai /se/. Pelafalan atau pengucapan huruf C sebagai /se/ umumnya terjadi saat disandingkan dengan huruf lain atau dalam singkatan, cotohnya WC, AC, dan kampus DCC.

Hal ini jelas keliru karena huruf C dalam abjad Indonesia haruslah dibaca /ce/. Ketidakkonsistenan dalam melafalkan C juga kita temukan pada istilah lain seperti nama penyakit TBC, Vitamin C, atau merek dagang ABC , yang terkadang diucapkan /ce/ dan kadang /se/.

Dalam pandangan saya pelafalan huruf C yang tidak konsisten dan menyimpang bisa jadi disebabkan karena huruf tersebut dapat dikatakan ’baru’ dalam abjad Indonesia setelah penyederhanaan ejaan. Sama halnya dengan J, U, dan Y. Pada prinsipnya huruf-huruf tesebut memang ada namun dengan bentuk yang berbeda. Huruf C awalnya masih terintegrasi dengan huruf lain dengan tujuan membentuk bunyi serapan, yakni CH yang kini telah diubah menjadi KH. Contohnya dahulu ditulis ’chusus’ maka kini mengikuti perubahan ejaan ditulis ’khusus’.

Konsep huruf C sebelum tahun 70-an masih dimuat oleh gabungan huruf TJ. T dan J merupakan huruf yang memuat bunyi tersendiri namun digunakan sebagai bunyi C: /ce/ bila digabungkan. Jika kita menulis ’cinta’ maka pada masa sebelum tahun 70-an tulisannya adalah ’tjinta’.

Begitu pula J,U,dan Y, masih dalam bentuk berbeda yaitu DJ, OE, dan J. Nama orang-orang yang mungkin lahir di era ejaan lama seperti Jusuf Kalla (baca: Yusuf kalla), Djadjat Sudradjat (Jajat Sudrajat), dan Sudjarwo (Sujarwo) adalah contoh nyata bentuk huruf yang telah berubah tersebut.

Selain karena sejarah huruf C yang panjang tersebut, saya menduga menyimpangnya pelafalan C karena pengaruh bahasa Inggris. Mengingat kita begitu membabibuta menggunakannya. Pelafalan huruf dalam bahasa Inggris sangat tidak konsisten. Coba lihat kata city (kota) dan cut (potong). Huruf C pada dua kata itu dilafalkan dengan bunyi yang berbeda. C pada kata city berbunyi /s/ dan pada cut berbunyi /k/. Begitulah pelafalan huruf dalam bahasa Inggris. Tidak konsisten.


Pengucapan huruf dalam bahasa Indonesia tentu berbeda dengan bahasa Inggris. Huruf dalam abjad Indonesia sangat teguh memuat satu konsep bunyi saja—kecuali huruf E. Jadi keliru jika C dilafalkan /se/. C adalah /ce/. Keteguhan dan kebenaran pelafalan C akan kita temukan pada nama stasiun televisi RCTI dan SCTV.

WC dan AC sebetulnya lebih tepat dibaca sebagai /dabelyusi/ dan /eisi/, karena keduanya istilah Inggris. Saya yakin sebagian besar kita fasih berbahasa Inggris, tetapi saya ragu kita sanggup melafalkan WC dan AC dalam bahasa Inggris. Jadi, lebih enak jika kita lafalkan saja dengan bahasa Indonesia. WC: /wece/, AC: /ace/. Atau jika tidak, kita pakai saja istilah pribumi: kakus. Bagaimana?



Baca Selengkapnya »»

Pahlawan di Tengah Krisis Zaman


Hendri R.H

Kompas.com
SABTU, 19 DESEMBER 2009

Kita adalah bangsa yang selalu mengadakan pesta pora memperingati nilai dan arti kepahlawanan. Bahkan di media, film, buku, dan komik istilah ini kerap terdengar seolah-olah itu kata sehari-hari. Apa sebenarnya pahlawan?

Coba tanyakan pada anak Anda atau generasi muda, pahlawan seperti apa yang mereka kenal. Apakah lebih mengenal pahlawan animasi Jepang dan Amerika daripada Pangeran Dipenogoro, Bung Tomo, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Agung, atau bahkan Sukarno sekalipun. Bahkan yang lebih mengejutkan adalah pemuatan patung Obama di Menteng, yang seakan-akan menjadi simbolisme bahwa dia adalah pahlawan bagi negeri ini. Tapi apakah benar bahwa dia lebih hebat kedudukannya dibandingkan dengan Tan Malaka sekalipun?

Seiring perubahan zaman, pergeseran nilai etika, adat istiadat sampai dengan teknologi mulai merasuki setiap jenjang kehidupan bangsa ini. Sebuah zaman ketika masyarakat Indonesia merasakan kuatnya cengkraman globalisasi yang berkedok modernisasi. Adakalanya perubahan tersebut memicu ke arah positif, namun tidak dapat dimungkiri, bahwa ada perubahan negatif yang mengkhawatirkan. Pengaruh negatif tersebut akan tampak dalam kehidupan generasi muda dewasa ini, terutama dalam menghayati dan mengamalkan nilai kepahlawanan.

Pada prinsipnya pemasukan nilai-nilai kepahlawanan dalam generasi muda harus dilakukan sejak dini. Urgensi harus dicapai mengingat perubahan zaman yang semakin nyata. Kemunculan komik, TV, internet dan media massa lainnya lambat laun mengikis nasionalisme generasi muda. Pengikisan tersebut terwujud dalam etika, budaya, perilaku sosial dan gaya hidup. Kecenderungan gaya materialisme dan hedonisme menghapus habis tinta sejarah bangsa ini, akan nilai-nilai kepahlawanan.

Kenyataan lainnya, generasi muda kita begitu lekat bahkan mengidolakan pahlawan khayalan ciptaan luar negeri. Disatu sisi ini merupakan ironisme, karena sesungguhnya pengagungan terhadap pahlawan luar negeri akan membawa dampak yang luar biasa bagi perkembangan anak. Bukan hanya nilai dan moral yang tidak sesuai dengan kultur kebudayaan Indonesia, namun pada prakteknya kultur bangsa ini akan digantikan oleh kultur kebudayaan asing. Tentu kita masih ingat ketika ada kekerasan anak yang diakibatkan oleh tontonan yang tidak baik semisal smackdown, itu merupakan bukti nyata betapa lemahnya mempertahankan budaya di tengah degradasi zaman.

Mengapa pahlawan fiksi ciptaan luar negeri lebih melekat dalam kehidupan generasi muda? Sangat sederhana, karena media membuatnya sebagai figur dan konsumsi publik. Anak-anak yang kurang pengawasan dari orang tua, kemungkinan besar tak mengenal lagi siapa yang mendirikan dan memperjuangkan negeri ini. Mau tidak mau generasi muda saat ini mengalami degradasi nilai-nilai kepahlawanan. Mereka lebih mengidolakan tokoh-tokoh fiksi buatan animasi Jepang dan Paman Sam. Sementara itu, mereka kurang atau bahkan tidak mengenal tokoh dan nilai kepahlawanan. Kalaupun mereka mengenal, hanya sebatas ingat nama dalam balutan buku sejarah.

Penerapan nilai-nilai kepahlawanan sudah sepatutnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika para politisi tahu dan mengerti arti sebuah kepahlawanan bangsa ini tentu tidak akan mengenal korupsi. Nilai kepahlawanan tentu tidak akan mengkhianati amanat dan menjunjung tinggi pengabdian untuk rakyat. Kenyataan seperti inilah yang harus dipupuk dalam benak generasi muda.

Jika berpikir ke depan, tentu saja peranan orang tua, lingkungan dan negara diperlukan. Orang tuanya setidaknya mengajarkan nilai-nilai kepahlawanan tersebut dalam ruang lingkup keluarga, jangan sampai semangat dan nilai pahlawan tersebut hanya diterapkan pada formalitas pendidikan semata. Karena kenyataannya pendidikan sejarah dan kewarnegaraan bagi generasi muda hanya dijadikan kebutuhan pemenuhan nilai akademik dibandingkan dengan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kepahlawanan. Hal yang perlu ditekankan lagi bahwa generasi tua harus menyerahkan mata rantai kepemimpinan terhadap generasi penerus dengan bekal-bekal nilai-nilai luhur yang dimiliki para pahlawan.

Selanjutnya peran pendidik dalam lingkungan akademik mempunyai porsi cukup besar, mereka tidak hanya menerangkan nilai dan semangat para pahlawan nasional, namun menerapkan konsep transformasi perjuangan generasi muda. Jika dulu pahlawan menggunakan otot dalam memperjuangkan bangsa ini, generasi muda tentu harus tahu dan mengerti posisi mereka. Perjuangan dengan menggunakan otak adalah senjata bangsa ini untuk terus maju, dan setidaknya meneruskan cita-cita perjuangan. Namun dalam kenyataannya, banyak terjadi aksi tawuran antar pelajar, apakah ini tidak dapat dijadikan barometer bagaimana generasi sekarang lebih menggunakan otot daripada otak, memang sungguh ironis. Seharusnya generasi muda tidak menempatkan diri sebagai penjajah negerinya sendiri.

Selain itu, peran negara justru besar pengaruhnya. Pemuatan buku, brosur, atau bahkan pengarahan, bisa saja dianggap angin lalu oleh generasi muda. Media massa sudah menjadi santapan dalam kehidupan yang serba modern. Nah, sudah sepantasnya pemerintah mencoba menggunakan media tersebut untuk digunakan dalam kampanye pemulihan nilai-nilai kepahlawanan. Misalnya dengan membuat film, sinetron yang berbau kepahlawanan dan mengedepankan aspek moralitas bangsa. Jangan sampai yang ditonton dan ditiru justru kebudayaan asing yang tidak cocok dengan kultur kebudayaan Indonesia.

Kreativitas bangsa ini juga patut dipertanyakan. Andai saja bangsa ini mau berusaha, tentu akan lahir karya yang mencerminkan kepahlawanan bangsa ini. Misalnya dengan membuat komik, sinetron, buku dan novel, atau bahkan video game yang mengangkat salah satu tokoh nasional. Proses kreatif seperti itu setidaknya mengubur habis anggapan bahwa nilai kepahlawanan hanya dijadikan sebagai materi dan ilmu yang ada dalam buku-buku sejarah. Selain itu, jangan sampai tokoh luar negeri diangkat dan dipuja-puja layaknya pahlawan bagi negeri ini, tetapi bangsa ini kurang atau bahkan tidak mengenal lagi pahlawan yang telah sujud di pangkuan ibu pertiwi.

Meski demikian, kita memang harus tetap optimistis bahwa bangsa ini mau menghargai dan menerapkan nilai-nilai kepahlawanan. Semangat juang, kegigihan dan pantang menyerah, mengedepankan amanat rakyat, anti korupsi, adalah beberapa sifat pahlawan yang dapat kita teladani. Dari situ kita bisa menghargai jasa para pahlawan serta menerapkan sifat-sifat teladan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya kita harus tahu dan benar-benar menghayati darah para pejuang yang telah membela negeri ini, bila dibandingkan dengan kehadiran “Pahlawan’ Obama sekalipun.

Hendri R.H, lahir di Sumedang 4 Agustus 1989. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pengamat sosial dan aktivis kampus. Menulis Esai dan dan opini. Aktif dan bergabung Komunitas Anak Sastra UPI www.anaksastra.blogspot.com.




Baca Selengkapnya »»

Kala Nabi Menjadi Jahat




Hendri R.H

kompas.com Senin, 14 Desember 2009

Apakah Nabi harus manusia yang membawa kebenaran? Apakah seorang Nabi harus membawa kebahagiaan bagi umatnya? Apakah seorang Nabi harus membawa kedamaian di muka bumi? Bagi sebagian orang jawabannya ya. Tapi bagi teater lakon UPI Bandung, lain lagi ceritanya. Tanggal 21 November bertempat di gedung PKM UPI mereka membawakan drama besutan Arifin C Noer berjudul Umang-umang, sosok Nabi yang selalu identik dengan pembawa nilai kemanusiaan, kini berubah radikal menjadi sosok yang jahat berwujud manusia, kesukaannya merampok, mencopet, memalak, bahkan membunuh orang. Sungguh radikal bukan?

Adalah Dedy Warsawa sang sutradara yang menjembatani nilai amanat yang ACN tulis dalam bentuk seni pertunjukan. Dari mulai seni dekorasi, pertunjukan bahkan seni musik, ia hadirkan guna menghadirkan roh ACN ke dalam panggung.

Tidak berlebihan saya mengatakan demikian, pikiran ACN yang kerap terperangkap dengan persoalan sosial, ujung-ujungnya memaksa kita menyerap mentah-mentah kritik sosial, gaya parlemen jalanan, bahkan pesta orang-orang marjinal. Kompleksitas tersebut nampaknya ada dalam drama tersebut, terlebih ACN membawa-bawa seorang Nabi dalam naskah umang-umang.

Jika merunut kebelakang, seni drama seringkali lahir dari persoalan sosiologi. Lihat saja Shakespare dengan karyanya Hamlet, begitu berani mengangkat persoalan yang waktu itu oleh gereja dianggap wilayah abu-abu. Lebih-lebih di negeri ini, konon disebut juga negara dunia ketiga.

Karena padahakekatnya setiap karya sastra (drama) merupakan jawaban terhadap berbagai hipotesis hidup, maka ACN menghadirkan belenggu sosialnya dengan pertunjukan drama. Saya masih ingat ketika menonton drama Tengul dan AA-II-UU nuansa tersebut hadir dalam setiap adegan yang dibawakan. Dan pada akhirnya hipotesis tersebut akan menjadi efek domino saling melengkapi, dan merupakan serangkaian potret-potret diri kita dalam berbagai ekspresi aktor.

Dari Nabi sampai ke Semar
Bentuk dualisme tokoh dalam pertunjukan drama, baru pertama kali saya tonton. Bentuk-bentuk seperti itu bisa saja menghadirkan sebuah revolusi pertunjukan atau bahkan menambal kekurangan dengan tidak adanya “monolog cerita”. Saya menemukan bentuk dualisme ini dalam tokoh Waska yang diperankan oleh Yussak Anugrah. Disatu sisi Waska digambarkan sebagai seorang Nabi bagi penjahat dan perampok, namun di sisi lain ia berpose sebagai seorang penuntut cerita layaknya dalang dalam hal ini sebagai tokoh Semar.

Waska yang merupakan penjelmaan kaum marjinal, membawakan sosok spiritual bagi kaumnya, ia hendak merampok kota dengan membawa kaum yang memujanya. Oleh kaumnya ia dianggap sebagai seorang Nabi yang membawa kebenaran dan keberuntungan hidup, terlebih mereka berada dalam zona ekonomi lemah, Waska hadir dan memberikan solusi untuk merampok kota.

Lain halnya dengan Waska yang dipentaskan dengan gaya dualisme penokohan, dua orang tangan kanannya Ranggong dan borok yang masing-masing diperankan oleh Sahlan Bahuy dan Chandra Kudapawana, menyajikan bentuk yang satu watak satu pertunjukan. Mereka digambarkan setia untuk mewujudkan keinginannya tuanya. Tapi masalah timbul ketika Sang Nabi tiba-tiba sakit dan menuntut mereka untuk mencari obat kepada seorang nenek agar sang Nabi dapat hidup kekal. Nenek tersebut mensyarakatkan untuk memakan jantung bayi. Hingga mereka kekal dan tak bisa mati, dan disinilah masalah muncul, karena ketika keinginan merampok kota terpenuhi, mereka mengingkari keinginan sebelumnya yaitu hidup kekal. Kini mereka tersiksa karena tidak bisa mati, berbagai cara dilakukan agar bisa mati, tapi tetap saja nihil. Sama halnya dengan nihilisme penokohan, begitu absurd dan liar.

Perwujudan tokoh dengan watak yang penuh absurdisme, setidaknya menuntut penonton untuk memasangkan tokoh dengan alur cerita. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi tersendiri karena tokoh dan penokohan dalam drama biasanya menampilkan juga kompleksitas psikologis. Sehingga justru yang berkembang adalah tokoh-tokoh tiruan dunia nyata dengan memasukan untuk absurdisme. Dalam teater kompleksitas tersebut kadang membawa tantangan penafsiran bagi penonton, namun seperti yang saya sebutkan, penonton harus jeli memisahkan antara bentuk universal tokoh dengan aspek psikologisnya.

Kita ambil tokoh Waska, yang dianggap sebagai Nabi. Penonton bisa saja tergiring bahwa Waska adalah tokoh yang jahat dan penuh onar, dalam dimensi seperti ini memang benar adanya. Namun, jika harus berpikir ala dekosntruktif, tokoh Waskalah yang mempunyai peranan yang baik, bahkan bagi dimensi penonton sekalipun, karena setiap tingkah lakunya yang jahat dia menghadirkan aspek psikologisnya untuk membawa pesan moral.

Saya sendiri menyimpulkan bahwa tokoh dan penokohan tersebut hanyalah dijadikan sutradara untuk mewujudkan gagasan-gagasannya. Tubuh dan gesture aktor menjadi gagasan sutradara, sehingga ia akan kehilangan identitas sesungguhnya. Lihat saja Tokoh Waska dan Semar, begitu apik sutradara menjembatani dua tokoh yang bertolak belakang ini.

Mungkin bagi ACN penggambaran Waska merupakan kenikmatan tersendiri menghadirkan tokoh yang penuh anomali. Dalam sebuah tulisan di blog ACN, dia menyebut bahwa naskah dramanya merupakan naskah drama cerdas, ia harus didukung oleh kecerdasan sang sutradara menjembatani amanat ACN dengan penonton. Sutradara dan aktor dituntut berpikiran cerdas dan piawai.

Dalam masalah panggung misalnya, sutradara mencoba mengimbangi kekurangan tata artistik dengan guyonan dan lelucon, misalnya dalam tokoh ulama (saya tidak tahu yang sebenarnya siapa, tapi penampilannya seperti ulama). Karena ketiadaan efek angin untuk menggerakan jubahnya, ia mencoba menutup kekurangan tersebut dengan menyuruh seseorang untuk menggerakannya. Mungkin kedengarannya aneh dan kelihatan bodoh sang sutradara menyuduhkan adegan tersebut tanpa efek. Tapi ia berpikir lain, orang yang menggerakan jubah tersebut dipaksa naik panggung, dan menyuruh aktor lain untuk mengomentarinya “Hei, ulama bawa juga pelayan yang menggerakan jubahmu itu”, kira-kira seperti itu dialognya. Namun yang pasti ia tidak menghadirkan kekurangan sebagai lahan untuk menabur benih kebodohan, justru menambah kelebihan, hingga saya berkata “Waw menakjubkan”.

Dalam aspek lain, seni musik juga dihadirkan dengan apik. Saya teringat ketika menonton film mafia Hollywood kental dengan lagu ghotic, atau bahkan lagu James Bond. Tapi dalam mafia Indonesia, ia menghadirkan lagu dangdut sebagai pengiring jalan cerita. Memang benar apa yang dilakukan sutradara bahwa unsur lokalitas terkadang menjadi senjata ampuh untuk membuat decak kagum penonton.

Umang-umang sebuah filosofi hidup
Apalah artinya sebuah karya jika tak membawa pesan moral atau setidaknya esensi hidup. Mungkin itulah yang terpikirkan oleh ACN, karena pada hakikatnya penonton membutuhkan sebuah suguhan isi cerita yang disampaikan mengandung bobot filosofis yang bisa menambah bagasi pengetahuan. Sama halnya dengan teater ini. Penuh dengan nilai dan esensi hidup.

Saya mengawali dengan tokoh Waska, yang menjadi sentral pertunjukan tersebut. Tokoh Waska hadir sebagai tokoh yang penuh pemberontakan, ia senantiasa mengayomi kaum marjinal untuk merampas kekayaan kaum konglomerat. Bisa saja ini bentuk kebiadaban, namun lagi-lagi saya berpikir dekonstruktif. Jika seandainya yang menonton adalah kaum berada, sudah barang tentu mereka akan mendalami tokoh Waska sebagai seorang yang membutuhkan uluran tangan, sehingga ia rela merampok.
Tokoh ini bahkan hadir pergolakan batin antara kehidupan seniman dan dunia kaum terpinggirkan, saya selalu teringat sajak Rendra “Penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan”.

Tentu saja ACN tidak meniru gaya Rendra dalam mengkritik fungsi dan kepekaan seorang penyair. Ia bahkan berpikir lebih kritis lagi, bahwa kehadiran penyair yang membawa penderitaan rakyat dan kehidupan kaum marjinal, hanyalah sebuah kedok untuk mendongktak populariras, mereka hanya memanfaatkan nama, setidaknya itulah yang terpikirkan ACN.

Lebih jauh lagi saya akan membongkar filosofi umang-umang, mengapa ACN rela memberi judul drama tersebut dengan judul yang aneh dan kurang populer. Mungkin ACN senang memberi judul yang penuh kontroversi dan berada dalam dimensi anomali. Umang-umang hanyalah binatang laut yang tidak mempunyai tempat tinggal, bahkan cangkang yang selalu ia bawa hanyalah pinjaman dari sisa hidup binatang lain.

Hiduplah sederhana seperti umang-umang, itulah mungkin yang hendak diangkat oleh ACN. Kesederhaan begitu penting dalam esensi hidup. Namun seperti yang telah saya ulas, bahwa ACN tidak puas dengan nilai-nilai yang universal, ia senang berkecimpung di sisi absurdisme. Bahwa dengan kesederhanaan manusia tidaklah cukup, ia harus memberontak, bahkan memberontak kepada Tuhan agar ia tidak mati. Tapi saya dapat menikmati suguhan esensi drama ini bahwa “hidup adalah sebentuk keabadian yang tak pantas untuk dimiliki. apalah artinya hidup jika tidak mati”



Baca Selengkapnya »»

Restu Redaksi Untuk Sastrawan



Oleh : Hendri R.H
Kompas.com Senin, 30 November 2009

Sepertinya ini sebuah guratan takdir bahwasannya kami harus menyembah redaksi kebudayaan untuk dikatakan sebagai seorang sastrawan. Lalu apakah menjadi sebuah kemutlakan bahwa sastrawan harus melewati penggonjlogan redaksi sastra?

Gelar sastrawan bagi seorang penyair, penulis, esais, dan dramawan bukanlah proses formal sebuah pendidikan akademik. Ada semacam dikotomi bahwa sebenarnya pendidikan formal bagi sastrawan adalah media massa. Pemerolehan gelar sarjana sastra dalam formalitas akademik, tentu tidak menjamin menjadi sastrawan, diperlukan suatu jalan panjang bahwa proses kreatif dan pengakuan dari sastrawan lain itu hal yang cukup penting.

Namun, jika dilihat dari sudut pandang berbeda, proses untuk mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan tidaklah mudah. Ada semacam gengsi tersendiri bahwa seorang sastrawan harus identik dengan media massa, atau bahkan karyanya harus sering nongol di media massa.

Sastrawan yang baru naik daun akan senang ketika karyanya dihargai oleh orang sekelas Nirwan Dewanto, atau bahkan sekalipun dicaci maki oleh seorang H.B Jassin. Karya sastra yang dihasilkan tentu bukan hanya untuk konsumsi pribadi namun juga dipublikasikan ke khalayak umum. Dengan kata lain sastrawan sendiri membutuhkan eksistensi agar karya-karyanya dapat dikenal.

Menariknya dalam ruang lingkup sejarah sastra Indonesia, kemunculan media massa membawa angin perubahan yang cukup berarti, lihat saja W.S Rendra yang karyanya pertama kali dimuat dalam majalah-makalah terkemuka di Jakarta dan lembaran kebudayaan di Solo dan Yogya. Belum lagi Seno Gumira Adjidarma, Acep Zamzam Noor, Sutardji Calzoum Bachri dan Joni Aria Dinata yang hidup dan menemukan gelar sastrawannya lewat media massa.

Penghargaan dan pengakuan tersebut sebenarnya membuat sebuah pembenaran bahwa seorang penulis ketika berhasil melewati testing redaksi, telah dianggap sebagai seorang sastrawan. Asumsi semacam ini memang benar adanya, karena saking hidupnya dunia sastra, bermunculan penyair-penyair muda dalam khazanah sastra Indonesia. Di satu sisi hal ini menjadi modal awal bagi sastrawan muda untuk menggali dan mengembangkan potensinya. Terlebih ketika karyanya dimuat, mau tidak mau akan mempengaruhi kepercayaan dirinya.

Dalam ruang batas seperti inilah, penggolongan antara penulis akademik dan non-akademik, berbaur menjadi satu. Dihadapan seorang redaktur sastra, tidak ada semacam dikotomi berlabel akademisi sastra, justru karya yang menjadi label tersendiri. Sehingga siapa saja bisa menemukan gelar sastrawannya ketika memasuki dunia koran dan majalah.
Pengkaderan sastrawan oleh redaktur sastra sebenarnya berawal dari abad ke-20 ketika di Bandung terbit sebuah surat kabar Medan Prijaji dengan redaktur R.M.D Tirto Adhi Soerjo yang memuat cerita-cerita bersambung berbentuk roman. Berlanjut sampai zaman balai Pustaka dan angkatan 66, sudah banyak media massa yang ikut melestarikan sastra diantaranya Jong Sumatra, Sastra, Indonesia dan Horizon dan Kalam yang dikelola oleh kelompok Teater Utan Kayu. Sampai sekarang ini, mungkin hanya surat kabar yang masih setia menyajikan rubrik sastra tiap minggu.

Pemerolehan gelar untuk menjadi seorang sastrawan tentu saja tidak harus melalui koran atau majalah. Taufik Ismail misalnya, justru eksis ketika karyanya dibacakan dalam sebuah demonstrasi mahasiswa dan pelajar dalam menyampaikan TRITURA. Pengarang yang hidup dalam dunia “perlawanan” juga tak kalah eksistensinya, misalnya Wiji Tukul yang menyuarakan kaum buruh.

Tetapi hal demikian akan sulit diterapkan pada masa sekarang, dulu ketika orang membaca dan menulis dianggap sebagai sebuah barang langka, kini setiap orang bisa melakukannya. Sehingga mau tidak mau sastrawan butuh media untuk eksisistensi dan penggonjlogan dari redaksi sastra, terutama bagi media yang sudah malang melintang di media massa, seperti Horizon, Kompas, Republika, dan Tempo. Persaingan tentu menjadi hal menarik untuk mengukuhkan gelar sastrawannya.

Bahkan saking ketatnya persaingan untuk karya pada koran dan majalah. Seorang sastrawan muda harus mampu bersaing dengan sastrawan senior dalam hal eksistensi. Sastrawan sekelas Hamsad Rangkuti, Taufik Ismail, Putu Wijaya dan Sides Sudyarto, masih tetap aktif menulis untuk Koran dan majalah. Padahal sebenarnya mereka sudah mempunyai pamor jika seandainya mau menerbitkan buku sekalipun.

Seno Gumira Adjidarma yang malang melintang dalam dunia Koran, membuat sendiri kumpulan cerpennya, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta, Saksi Mata, Penembak Misterius, Kematian Donny Osmond, Dunia Sukab, Iblis Tidak Pernah Mati, Di Larang Menyanyi di Kamar Mandi, adalah kumpulan cerpen dia ketika ditulis di media massa. Padahal jika berpijak pada ketenaran namanya, dia toh bisa saja membuat antologi independen yang terlepas dari media massa. Namun testing media massa justru membuat para cerpenis membukukan kembali karyanya, seakan cerpen-cerpen tersebut sudah lulus dan berlabel sertifikasi media massa.

Lain hal dengan para penyair yang rame-rame membukukan kembali karyanya ketika di media massa. Kompas saban tahun juga menerbitkan buku kumpulan cerpen, yang lebih dikenal dengan cerpen pilihan kompas. Pembukuan kembali cerpen seperti ini seperti mengundang kembali kanonisasi karya sastra yang digembar-gemborkan oleh Saut Situmorang.

Sebenarnya kanonisasi yang heboh terlebih dahulu, ketika seorang kritikus sastra Marcel Reich-Ranicki jerman membuat kumpulan karya terbaik. Menurut dia, karya tersebut layak dipandang sebagai karya abadi. Bagaimana dengan Indonesia, tentu saja menimbulkan polemik tersendiri. Akan timbul asumsi publik bahwa karya sastra di luar kumpulan karya sastra tersebut merupakan karya yang tidak bermutu, terutama kumpulan karya media massa ternama yang sudah lulus testing redaksi sastra.

Saut situmorang bahkan menyebut bahwa betapa susahnya menjadi seorang sastrawan Indonesia. Seperti yang ia ungkapkan ketika mengutip pernyataan Nirwan Dewanto dalam “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003.Redaktur Tempo ini mengatakan.

“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”
***
Memandang sekilas tentang peranan media masa dalam mendidik seorang penyair. Akan selalu berbenturan bahwa dengan otoriterisme seorang redaksi sastra atau setidaknya harus melewati meja redaksi. Akibatnya banyak orang yang hendak menjadi seorang sastrawan harus menelan pil pahit karena karyanya dimuat sama sekali. Sebagai perlawanan muncul berbagai media lainnya sebagai tandingan media massa, yaitu Internet.

Kemunculan situs dan komunitas sastra Internet mulai merebak ketika Internet masuk ke Indonesia. Hakikatnya setiap orang bisa menulis karya sastra, tanpa ada interfereni semacam redaksi sastra, bahkan saking mudahnya, orang bisa memajang karya-karya dalam ruang pribadi di internet.

Antologipuisi, puisikita, gedongpuisi, puitika dan cybersastra merupakan antek-antek generasi sastra Internet. Saking merakyatnya dunia sastra orang-orang mulai meramaikan khazanah sastra Internet. Malah tahun 2002 situs cybersastra membuat sebuah antologi puisi bernama cyberpunk. Penerbitan antologi puisi sebagai “jalan pintas” untuk mencapai gelar sastrawan tentu saja mengundang berbagai reaksi keras. Dalam sebuah esai Saut Situmorang, Maman S. Mahayana Pengajar FSUI mengatakan , bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka.

Sebuah tamparan keras juga dilontarkan Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur Republika ini menyebut bahwa pemuatan karya sastra di Internet, hanyalah karya yang tidak lolos ke Media. Pernyataan ini seakan-akan ada dikotomi yang begitu jauh antara sastra Koran dan sastra Internet.

Para penulis di dunia internet, mungkin menyadari betul bahwa eksistensi menulis di media masa tentu lebih menantang dan mendapatkan keuntungan finansial tersendiri. Namun sepertinya karena kemudahan dan kemajuan zaman, mereka dengan mudah dapat menciptakan media sendiri, sehingga akan lebih bebas berekspresi tanpa rasa deg-degan kecewa ketika karyanya tidak dimuat.

Label-label media massa yang diisi oleh para sastrawan seperti Nirwan Dewanto, Ahda Imran, Rahim Asik, Ahmadun Yosi Herfanda. Seakan sebuah simbolisme keutuhan pengkaderan gelar sastrawan, di tangan merekalah mungkin gelar tersebut dapat diperoleh.

Pemilihan media massa untuk membuka gerbang seorang sastrawan memang tidak dapat dielakan. Eksistensi dan persaingan tentu menjadi hal yang menarik dan menuntut seorang untuk lebih kreatif. Tetapi untuk menjadi gelar seorang sastrawan tentu tidaklah mudah, tidak hanya mengandalkan peran media massa, pemantapan, daya kreatifitas, atau bahkan gelar akademik sekalipun. Karena menjadi seorang sastrawan adalah panggilan hati, itulah kiranya yang dikatakan oleh Acep Zam-zam Noor.



Baca Selengkapnya »»

Anak Haram



Cerpen: Hendri R.H
Ketua Divisi Linguistik Komunitas Anak Sastra

Kompas.com
SABTU, 7 NOVEMBER 2009 | 02:25 WIB

Aku tak pernah mengerti kenapa dilahirkan, bahkan Aku tak pernah meminta Tuhan untuk meniupkan ruhnya ke dalam rahim Ibuku. Andai kata ada semacam pemilihan di Alam Ruh, Aku lebih memilih dilahirkan dari rahim seorang Ibu negara, ustadz, atau bahkan seorang guru. Setidaknya kalau dilahirkan dari mereka tidak akan dicap sebagai anak haram. Karena sepuluh tahun yang lalu Aku menangis dipangkuan seorang Ibu yang kini kukenal sebagai seorang pelacur.

Pernah suatu saat bertanya pada seorang Ustadz, “ Kenapa Aku dilahirkan di mulut Rahim seorang pelacur, bukankah Tuhan membenci pekerjaan itu?”
“Karena suatu saat Kau akan menemukan kebenaran dan hakikat hidup dari seorang hamba Tuhan, Dia tidak menciptakan makhluk yang tidak mempunyai jalan hidup, perkara kau dilahirkan dari seorang pelacur atau bukan, itu kehendak Dia.”

Aku selalu menyesal bertanya hal itu pada Ustadz, pikiranku selalu dipenuhi tanda tanya, esensi hidup apa yang Tuhan rencanakan, bukankan dia Maha adil? Ah, pertanyaan itu hanya membuatku pusing, seperti benturan-benuran keras ketika ku memikirkannya, bahkan Ibuku sendiri tak mengetahui kenapa ia menjadi pelacur.


Saban hari Aku hanya menunggu seseorang di balik pintu. Kursi-kursi yang kujajarkan dan ditata rapi, hingga menyapu ruangan tamu kulakukan tiap hari. Perlakukan terhadap rumahku selalu istimewa setiap harinya, bahkan ketika menginjak bangku SD. Aku terbiasa membaca buku di ruang tamu. Semua itu kulakukan demi menemukan seorang manusia yang harus memenuhi fitrahnya, sebagai Ayahku.

Entah kenapa hari itu Aku memakai pakaian bagus, pemberian Ibuku memang, walapun tidak halal, tapi harus berbuat apalagi. Tuhan juga memaklumi keadaanku, perkara Aku berkomplot dengan Ibu sebagai kejahatan pelacuran, tak kupedulikan. Dia toh harus memenuhi kewajiban sebagai seorang Ibu dan menapkahiku sebagai seorang anak.

Dalam pakaianku yang serba bagus, daun telingaku menangkap suara langkah kaki, perlahan tapi pasti, langkah itu semakin jelas, dan terakhir berhenti, tak kedengaran lagi. Malah bunyi ketukan pintu yang terdengar, Aku membuka pintu itu, berharap yang datang bukan Ibuku. Benar saja, seorang lelaki. Ia terlihat santai dan penuh wibawa, sosok ayah yang kuidam-idamkan dari dulu kini ada didepanku.

Setelah kuhidangkan makanan yang enak-enak, Aku langsung lari ke ruang tengah, mengambil cermin dan mengintip lelaki itu dari balik tirai. Kini kubandingkan bahwa wajah lelaki itu dengan wajahku, tak ada yang mirip, bahkan hidungnya pesek, kulitnya hitam, perawakannya agak kecil. Sedangkan Aku justru kebalikannya. Benarkan ia Ayahku? tak berani mulut ini menanyakanya langsung, tapi Aku berharap ia memang Ayahku.

Perkara cermin Aku tak pernah pedulikan, memang benar bahwa cermin adalah makhluk yang paling jujur, setidaknya itu yang dikatakan sastrawan dalam sajaknya. Tapi dalam kondisi ini Aku tak boleh percaya pada benda itu, keinginanku terlalu besar untuk menebak bahwa lelaki yang ada dihadapanku adalah seorang Ayah.

“Kemana Ibumu nak?” Lelaki itu membuyarkan lamunanku, dari tadi Aku hanya memandang wajahnya seakan ia hendak pergi untuk selama-lamanya.
“Pergi keluar.” Jawabku.

Tak berani Aku menyebut bahwa Ibu pergi melacur, Aku takut calon Ayahku ini kecewa dan pergi begitu mengetahui bahwa wanita yang ditunggunya sedang mengobral rahimnya untuk ditukarkan rupiah. Lama benar dengan pergolakan senandung lamunan, Ibu datang.

Seperti biasa Ibuku selalu pulang dengan badan lemas, tak pernah Aku tanyakan padanya. Sepulang dari tempat melacur ia selalu tidur dan tak boleh diganggu. Bahkan Aku tak berani menanyakan bahwa lelaki didepanku adalah ayahku sendiri, biarlah Ibu sendiri yang mengatakan padaku, lebih indah pengakuan seorang Ibu kepada anaknya, bahwa ayahnya telah lama berpisah, kini ada dihadapannya.

“Sudah lama menunggu Mas,” Ibuku bertanya pada lelaki itu.
“Dari tadi, tidak lama untungnya ada anakmu, dia mungkin jadi anak yang baik.”
“Semoga mas, jangan sampai menjadi Aku yang seperti ini.”

Belum pernah ku dengar doa seorang lelaki yang mengharapkan untuk kebaikan masa depanku. Aku semakin yakin bahwa ini adalah Ayahku, Ayah yang selama ini kutunggu, yang bisa mendidik, yang bisa menjadi raja dalam kerajaan kecilku. Biar Ibu tak mengobral tubuhnya dijalanan lagi.

Aku cepat-cepat pergi ke kamar, tak kuasa menahan tangis, walaupun Ibu tak menyebutkan langsung bahwa itu ayahku, namuan Aku tetap terharu sejadi-jadinya.
Dari balik tirai kuintip lagi dan kudengar pembicaraan mereka, namun alangkah kagetnya ketika Ibu memberi uang pada lelaki itu.
“Ini uang kembalian yang kemarin mas,” kata Ibuku sambil memberi uang dua puluh ribu.

Sontak batinku kaget, hancur luluh, dan harapanku untuk medapatkan seorang ayah pupus sudah. Kini lelaki itu pergi tanpa beban telah meminjam Rahim Ibuku, seakan telah membayar ia langsung pergi tanpa ada dosa.

Kuambil gelas yang telah ia minum, langsung Aku banting ke lantai, jijik melihat dia dan tak sudi menerima kenyataan bahwa dia hanyalah pelanggan Rahim Ibuku. Buat apa penjamuan ini dan penghayatan bahwa dia bukan ayahku. Kini Aku mulai mempercayai cermin, makhluk yang selalu berkata jujur.

“Kenapa kau berkelakuan aneh, Ibu tidak suka.”
“Apa Ibu tidak mengerti, Aku merindukan ayah, yang membuat Aku lahir ke dunia ini adalah Ayah dan dan Ibu. Kini yang kukenal hanyalah Ibu, mana Ayahku, seorang anjing yang lahir ke dunia pun akan menanyakan dimana ayahnya berada, Aku bosan dikatain anak haram terus.”

Tapi hanya tetesan air mata sebagai jawaban atas pertanyaanku. Aku sendiri pergi ke kamar dengan penuh tanda tanya. Tak mungkin menyalahkan Ibu mengenai keberadaan ayahku, tak mungkin juga menyalahkan Tuhan karena membuat Aku ada di dunia ini.

Yang tak pernah dimengerti, kenapa Ibu tak tahu dimana Ayahku. Sudah berapa lelaki yang pernah memakai rahimnya. Mungkin bercampur dengan lelaki lain dan lahirlah Aku. Hanya bisa menghibur diri sendiri bahwa yang memakai Ibu adalah pejabat, guru, dosen, pebisnis. Biar Aku yang dikatakan anak haram setidaknya masih ada keturunan dari orang-orang tersebut.

Sepuluh hari setelah kejadian itu, Aku jarang mengobrol dengan Ibuku. Hingga suatu malam ia pulang dengan wajah lesu, kasian benar melihatnya terlebih ia masih sebagai Ibuku. Aku harus membalas budi, setidaknya itu yang dikatakan oleh agama.
“Nak, maafkan Ibu tak bisa mendidikmu”
“Ndak apa-apa Bu, gimana kondisinya sekarang”
“Ibu tak kuasa lagi, beban ini terlalu berat, Ibu tak bisa menemukan ayahmu, bahkan Ibu tak becus menghapus diksi anak haram dalam kehidupanmu” Jawabnya dengan terbata-bata.

Kini Aku tahu bahwa Ibuku sekarat, namun yang anehnya ia selalu memegang payudaranya. Ku beranikan bertannya padanya.
“Adakah yang bisa ku bantu bu.”
“Ndak ada nak, Ibu sudah tak kuat lagi, Ibu menderita kanker payudara ketika kau lahir, maafkan Ibu nak, jadilah anak yang sholeh dan teruskan cita-citamu.” Itulah kalimat terakhir yang kudengar. Ibuku menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kini dua kali Aku tertegun bagai disambar geledek, mendengar kenyataan bahwa Ibuku menderita kanker payudara. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Durhalah diriku yang telah memperlakukan Ibu seperti orang asing.”

Dalam keremangan malam, kutemukan esensi hidupku, bahwa manusia mempunyai arti untuk orang lain. Perkara Ibuku masuk surga atau neraka, itu urusan Tuhan, namun akan kudoakan agar dia masuk surga, semoga doa anak yatim dikabulkan.

Sosok Ibu bahkan melampui ayahku jiga memang ada, dialah Ibuku sebenarnya rela berjuang demi anaknya. Tak pernah ia mengeluh, dan melawan sinisme sosial.
Aku tak boleh membenci Ibu, dia adalah pahlawan dalam hidupku, rela berkorban batin dan fisik. Aku tak boleh menggugat Tuhan atas kelahiranku, Kini yang kugugat adalah masyarakat yang mengatakan Aku anak haram.

Bandung, 1 November 2009


Baca Selengkapnya »»

Bahasa Indonesia sebagai Aspal Kolonial



A Windarto
Kompas Rabu, 28 Mei 2008 | 00:45 WIB

Tulisan P Ari Subagyo berjudul ”Masalah Utama Bahasa Indonesia” (Kompas, 3/5) menarik untuk dikaji lebih mendalam. Sebab, apa yang dipersoalkan dalam tulisan itu selalu menjadi perdebatan yang aktual di kalangan orang muda Indonesia sesudah mereka berkumpul dan berikrar dalam Soem- pah Pemoeda pada 1928.

Perdebatannya adalah di seputar ”kesatuan bahasa” yang baru saja digagas atau dibangun demi tujuan perjuangan untuk merdeka dari Belanda. Bagi Partai Indonesia Raya, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang diperintahkan untuk digunakan dalam semua pernyataan umum terhadap setiap anggotanya. Begitu pula dengan anggota-anggota pribumi di Volksraad, yang telah memutuskan untuk berbicara dengan bahasa Indonesia ketika bersuara dalam dewan tersebut.

Akan tetapi, seperti apakah sesungguhnya bahasa Indonesia yang ditunjuk oleh partai politik terbesar zaman itu dan badan penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut? Sebetulnya itu adalah juga bahasa Melayu. Namun, Melayu yang benar. Artinya, ”Melayu Tinggi” yang dibakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, Volkslectuur (Bacaan Rakyat) dan penerbit Balai Poestaka. Sering pula disebut ”Melayu Ophuijsen” sesuai dengan nama insinyur bahasa yang membentuknya.

Bahasa Melayu itu berbeda dengan ”Melayu Rendah”, ”Melayu Betawi”, atau ”Melayu bazaar (pasar)”, seperti yang dipakai oleh Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis dan penulis pribumi awal. Gaya penulisannya dikenal sebagai koyok Cino (seperti China) yang identik dengan China-Melayu. Namun, ia juga memakai campuran Melayu-Belanda yang begitu ekspresif atau bersifat banci-banci modernitas.

Oleh karena itulah, Mas Marco berulang kali ditangkap dengan jeratan pasal haatzaai (menyebarkan kebencian). Bahkan, di akhir hayatnya, ia hidup di kamp interniran Boven Digoel, Irian Barat, dalam pembuangan mirip dengan bahasa Melayu-nya. Sebuah bahasa jalanan yang dibuang, dikucilkan secara linguistik dan diasingkan dengan sukarela.

Kajian mengenai bahasa Indonesia—atau lebih tepat politik bahasa—di atas dipaparkan dengan baik oleh sejarawan Rudolf Mrázek dalam bukunya yang berjudul Engineers of Happyland. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006). Bahkan, dengan baik pula, Mrázek menempatkan dan mengibaratkan persoalan bahasa itu sebagai aspal. Hal ini sejalan dengan modernitas kolonial yang sedang digalakkan melalui pembangunan jalan dan rel modern.

Penampilan bahasa Indonesia pasca-Soempah Pemoeda tak lepas dari usaha untuk membuat suatu bangsa yang masih lemah dan sedang tumbuh menjadi seperti sebuah jalanan yang beraspal. Dengan penampilan seperti itu, bahasa Indonesia dihadapkan pada bahaya-bahaya yang merupakan permainan dari bahasa teknis (vaktaal). Dalam bahasa ini, ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah yang diharapkan mampu mengikat atau menyatukan rasa kesatuan dapat gagal dan bahkan hancur berantakan. Dengan kata lain, bahasa itu menjadi seperti ”tidak punya perasaan” (rasaloos) atau ”tidak punya malu” (ma-loeloos).

Akrobat otak

Itulah sebabnya bahasa Indonesia yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan sebagai bahasa persatuan tampil tak jauh berbeda dengan ”Pak Koesir yang telanjang kaki, bingung, ketakutan, gugup, ragu-ragu, dan pantas ditertawakan di tengah lalu lintas umum”. Penampilan itu adalah stereotip yang dikenakan kepada para pengguna jalan modern yang berlabel p.k. (paardekracht) atau ”daya kuda”, ”Sidin”, dan juga ”Simin”. Label-label itulah yang merepresentasikan identitas ”penduduk asli” atau ”pribumi” yang lebih sering menjadi korban kecelakaan/tabrakan di jalanan dan berjalan tanpa sepatu.

Masuk akal jika sejak semula bahasa Indonesia tak pernah utuh, apalagi terikat pada satu peraturan permainan linguistik semata. Melalui bahasa itu, terbuka kemungkinan untuk ”mengabstrakkan dunia dari keadaan- keadaan sosialnya” dan ”untuk membuatnya tampak seolah- olah, secara teknologis, menggantung di awang-awang”. Dengan demikian, bahasa seperti itu mampu merekatkan bersama segala sesuatu yang paling tidak akur, bahkan dapat bermanfaat untuk melawan rasa malas dan ketakutan dalam berbahasa karena mirip seperti sebuah batu yang dapat dipasang dan dilepas secara bebas seturut kepentingannya.

Konsekuensi logisnya, bahasa Indonesia menjadi seperti akrobat otak. Atau, mengeltaal, mischprache, gado-gado, ”bahasa campuran”, ”bahasa oblok-oblok”, ”bahasa campur aduk” yang tidak hanya memiliki satu rasa. Dengan cara itulah bahasa Indonesia tidak menjadi mesin, instrumen, dan bahkan komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar. Hal ini dapat dilacak dari pengalaman berbahasa kaum nasionalis radikal Indonesia yang menulis di majalah atau surat kabar tentang gerakan nasionalisme mereka. Yang ditulis—termasuk dilukis— bukan lagi wilayah Indonesia yang tropis dengan pemandangan alam yang hijau dan lebat.

Sekali lagi, Mas Marco, misalnya, dengan mudahnya menggores dan meretakkan, bahkan merusak, apa yang sudah dipoles atau diperhalus dalam bahasa ibu/asli. Singkatan Weltvaartscomissi (Komisi Kesejahteraan) dapat terlihat ”subversif” di mata pejabat kolonial yang terhormat ketika dibuat menjadi WC. Atau, boemipoetra yang secara teknis lucu dan menggigit disingkat sebagai bp Bahkan, Kromoblanda- nya Tillema yang memperlihatkan perpaduan yang tenang dan bahagia antara penduduk asli dan Belanda digubah dengan campuran Melayu-Belanda-nya menjadi ”kromolangit”, ”kromorembulan”, dan ”kromobintang”.

Tidak setiakah bahasa yang mencampuradukkan istilah-istilah asli dengan ungkapan-ungkapan yang seolah-olah datang dari dunia lain? Seorang pakar Jawa termasyhur, Dr Poerbatjaraka, pernah menyatakan kepada salah satu mahasiswanya bahwa keindahan bahasa (Belanda) terletak pada kemampuannya untuk tidak melukai orang (Jawa). Namun, bagi para pekerja kereta api di Semarang yang pernah menggalang aksi pemogokan terbesar pada 10 Mei 1923, istilah spoor tabrakan, ”tabrakan kereta”, justru menjadi teriakan perang yang mampu membangkitkan dan menggerakkan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda meski hanya dalam waktu 12 hari.

Bahasa memang potensial sebagai perekat kebangsaan di antara orang-orang yang tak saling kenal. Hanya masalahnya, bahasa seperti itu dapat muncul secara historis jika, salah satunya, tidak dianggap sebagai kebenaran yang dikeramatkan. Begitu pula dengan bahasa Indonesia yang telah mampu menumbuhkan nasionalisme. Bahasa itu sesungguhnya tidak dilahirkan di ruang- ruang resmi perserikatan/perkumpulan, tetapi ”dipungut” dari jalanan kolonial yang keras atau beraspal.

A Windarto Anggota Staf Peneliti Lembaga Studi Realino, Yogyakarta


Baca Selengkapnya »»

Melebur Karya Sastra Picisan



Catatan Muallaf Sastra
Hendri R.H

Saya masih tidak mengerti kenapa Pramoedia Anata Toer dilahirkan, terlebih berbagai karyanya dilarang pemerintah. Saya sendiri yang mendekam di jurusan sastra sempat menolak untuk membaca karya-karyanya, “kumpulan roman picisan” itulah kiranya yang sempat terucap. Praduga tak bersalah tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya roman yang dilahirkan awal abad ke-19 kebanyakan bertemakan cinta.

Sebuah karya sastra dalam ruang lingkup khazanah pembaca, setidaknya harus dipenuhi oleh pergulatan ideologis, pemahaman dan pencarian konsep filsafat. Permasalahan yang paling mendasar adalah konsep-konsep tersebut hanya dijadikan “ban serep” untuk mendukung gaya bercerita. Walaupun toh maksudnya ditulis secara eksplisit, tetap saja pengolahan diksi untuk menuju konsep filsafat dihadirkan secara eksplisit. Itulah mungkin kenapa saya tak begitu menyukai karya sastra berbau percintaan yang membosankan. Bukan tanpa alasan, lebih baik menonton film kalau hanya sekedar bernostalgia dengan cinta.

Saya selalu mempertanyakan kenapa novel-novel teenlit begitu banyak diminati oleh pembaca. Jika harus jujur, saya berani mengatakan bahwa novel itu tidak manfaat terutama bagi saya. Anda setuju, itu terserah anda? Tapi saya mempunyai alasan kenapa tulisan itu tak lebih dari novel picisan gaya baru.


Pertama, selalu teringat perkataan Sides Sudyarto sewaktu acara seminar sastra (FMIPA UPI), beliau mengatakan bahwa cerpen/novel bergaya teenlit terlalu jauh melangkah, terutama penggunaan bahasa yang “amburadul”. Terdoktrin dengan perkataan tersebut saya analisis berbagai cerpen dan novel bergaya Teenlit, hasilnya waw, sungguh mengagetkan tulisan ini racun atau madu bagi sastra Indonesia, atau bahkan sebagai pelemahan asas Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Berpijak pada pergelutan dan pergulatan gaya sastra abad modern, begitu banyak bermunculan aliran dan teori sastra, terlebih diiringi dengan karya-karya yang begitu deras bermunculan (Tak diimbangi dengan kritik sastra). Di satu sisi kemunculan novel dan cerpen tersebut merupakan sumbangsih yang begitu luar biasa, sastra bukan hanya berpesta pora oleh kaum elit atau bahkan para sastrawan yang saling memuji karya sastra, namun telah merasuk ke dalam kehidupan masyarakat awam, terutama anak-anak remaja.
Tetapi perkembangan sastra tersebut begitu “liar” terutama dalam pemakaian bahasa. Pencampuradukan pemakaian bahasa prokem terlalu kelewatan. Pemuatan kata-kata prokem misalnya gue, loe, coyat, atau kosa kata yang tidak sesuai kaidah tentunya menghadirkan sesuatu yang mengkhawatirkan. Dampaknya masyarakat khususnya anak muda tidak lagi mengenal mana Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Baik, harus sesuai dengan pemakaian dan benar, harus sesuai dengan norma atau kaidah kebahasaan. Apalah artinya sebuah karya sastra kalau untuk memuliakan bahasa sendiri tidak bisa, atau bahkan meracuninya. Padahal sebentar lagi peringatan sumpah pemuda, “Apalah bedanya kita dengan penjajah gaya modern kalau untuk memuliakan bahasa sendiri tidak bisa, terlalu menyakitkan mungkin bagi nenek moyang yang hidup memperjuangkan bahasa ini tetap menjadi bahasa persatuan”.

Memang itu hak bagi seorang penulis untuk mengeksplotasi pemilihan kata, tapi setidaknya ia perlu dibarengi dengan nilai-nilai kaidah berbahasa yang baik dan benar. Penulis tidak hanya menghadirkan karya bernuansa cinta untuk tujuan komersil, tetapi setidaknya mendidik masyarakat untuk lebih menghargai bahasanya.

Anda tidak percaya? Lihat saja implikasinya. Di FB ada orang yang menulis kata yang baku menjadi kata-kata aneh, coyat, luthu, dsd. Bahkan yang lebih parah ada huruf kapital di tengah kata “aKu mAu kE RuMah”. Kita hanya bisa menunggu, para penulis yang takluk pada besarnya arus bahasa prokem, atau jutru para penulis sendiri yang mebina masyarakat. Saya hanya menduga bahwa jawabannya tertuju pada satu kalimat “takut tulisannya tak laku, kalau bahasanya terlalu formal”.

Lagi himbauan itu didasarkan pada doktrin linguistik bahwa bahasa itu dinamis. Tetapi penggunaan istilah ini terlalu luas bahkan salah kaprah barangkali. Membericarakan bahasa yang dinamis setidaknya harus diikuti aturan dan tata norma yang ada, untuk apa kita mempunyai kita aturan tata bahasa baku kalau pun ujung-ujungnya masyarakat hanya memandang sebelah mata “hanya dijadikan konsefp formalitas akademik”.

Kalau Pemerintah mau sedikit berusaha, harus ada semacam pemaksaan bahasa. Misalnya dengan menaikan derajat bahasa Indonesia, agar mempunyai nilai. Jangan sampai Bahasa Indonesia tak bertuan di rumahnya sendiri. Program Tes Kemahiran Berbahasa harus segera dilakukan baik untuk keperluan kerja, maupun untuk tes akademik. Kita hanya mengandalkan TOEFL untuk tes bahasa, lalu dimana urgensi bahasa Indonesia? Saya sendiri yang berdiam di jurusan bahasa tak pernah tahu berapa nilai tes tersebut, memalukan. Ini implikasi nyata, bangsa ini terlalu menganggungkan konsep kebebasan berekspresi. Setidaknya inilah peran karya sastra, ketika masyarakat sudah demikian sastra hadir dengan konsep mendidik.

Kedua penentuan tema tersebut kadang hanya menonjolkan hedonisme anak-anak remaja, tak pernah saya menemukan novel Teenlit bertemakan nasionalisme atau pergolakan batin menuju wejangan filosof (Kalau anda menemukan saya sendiri dengan senang hati akan membacanya).

Apakah konsep-konsep seperti itu penting? Terlalu penting mungkin. Sastra tidak hanya hadir sebagai sebuah bacaan untuk bernostalgia, atau bahkan sebagai hiburan semata. Tetapi lebih dari itu sastra harus hadir sebagai bacaan yang mendidik. Novel dan cerpen Teenlit tidak harus berkutat tentang gaya hidup anak muda atau percintaan, pemuatan nilai-nilai kemanusiaan, norma agama dsb dirasa sebagai sebuah urgensi tersendiri.

Misalnya membuat novel teenlit yang bertemakan tentang korupsi, ini mungkin menjadi senjata pemerintah untuk mendidik masyarakat terutama anak muda untuk mengenal korupsi. Iklan dan wejangan dirasa cukup membosankan untuk mendidik anak muda yang perngaruh oleh gaya hedonisme yang begitu hebat. Pemuatan karya sastra seperti itu tidak hanya berdampak bagi pendidikan anak remaja, tetapi lebih jauh lagi mendidik masyarakat untuk mencintai dan menghargai peran dan fungsi karya sastra.

***
Kembali ke permasalahan awal, tadinya mau menghabiskan pembahasan mengenai novel teenlit, namun segelas kopi mendorong saya untuk membandingkannya dengan Tetralogi karya Premoedia Ananta Toer. Terlalu jauh memang membandingkan dua jenis novel tersebut, apalagi di waktu dan kultur zaman yang berbeda. Tapi apalah sebuah karya kalau hanya dikagumi tanpa dianalisis dan diapresiasi.

Roman pertama yang dibaca berjudul Bumi Manusia, teman saya yang membawakan untuk dibaca, hingga bertanya apa kehebatan Roman ini. Ratusan orang yang saya lihat profilnya di Facebook menulis Bumi Manusia sebagai buku Favoritnya. Ini keterlaluan, saya sempat mengutuk diri sendiri kenapa tak pernah menyentuh karya tersebut, awalnya hanya ingin membuktikan bahwa teman-teman di Fabecook tidak hanya menulis buku favorit tersebut sebagai ajang gagahan, tetapi ada esensi tersendiri.

Pram dalam pemikiran saya, dikenal sebagai orang yang selalu menghabiskan hidupnya di penjara. Entah itu takdir atau apa, yang pasti Tuhan menciptakan manusia tersebut bukan tanpa alasan. Setidaknya ia manusia pertama Indonesia yang berkali-kali masuk nominasi nobel sastra, andai kata pemerintah mendukung Pram mungkin ceritanya lain lagi. Indonesia akan mendapat orang yang pertama kali memenangkan nobel, mengagumkan.
Lalu apa kesalahnanya? PKI atau apa, ah saya tidak terlalu memikirkannya. Terlalu nisbi memikirkan nasib sastrawan tersebut, yang penting mahakarya beliau dapat di masukan ke dalam tinta emas kesusatraan.

Jika hendak berpikiran dekonstruktif, mungkin proses pembelajaran di balik tembok penjara ada untungnya (manusia selalu berkata “untung” walaupun itu adalah kecelakaan). Pram di balik penjara tidak lantas berhenti atau menuntut Tuhan, tetapi ia menulis, bahkan mengukir sebuah mahakarya dengan balutan penanya.

Baiklah saya terlalu jauh mengangungkan sastrawan ini, karena sebuah karya sastra akan begitu saja terlepas dari pengarangnya. Sastrawan hanya penyampai wahyu pemikirannya, setelah wahyu tersebut sampai ditulisnya, bukan orangnya untuk kita agungkan tapi tulisannya.

Dalam roman pertama berjudul Bumi Manusia, Pram membalut kultur percintaan dengan pergulatan ideologi dan pencarian jati diri seorang manusia tentang masa depan tanah airnya. Permilihan tema begitu apik, terkadang perlombaan antara kultur percintaan, nilai kemanusiaan, dan nasionalisme berbaur menjadi satu, tidak ada perlombaan tema atau ada kecenderungan Pram menonjolkan satu tema.

Jika dibandingkan dengan tema-tema novel remaja yang masih bergulat tentang percintaan. Pram nampaknya membawa tema picisan sekedar untuk melengkapi ruang lingkup cakrawala yang lebih besar, yaitu semangat nasionalisme dan nilai-nilai sosial. Tidak ada gaya borjuis atau hedonisme dalam cerpen itu, karena membicarakan cinta hanyalah alat untuk mencapai titik amanat yang luhur, yaitu mencintai tanah air.

Dalam pemilihan diksi sengaja ia memperkenalkan bahwa inilah Bahasa Indonesia, terlalu berapi-api mengatakan hal itu, bagi saya tidak. Ia dengan lantang membedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa daerah bahkan bahasa Belanda. Etimologi setiap diksi yang dirasa asing tidak lantas dijadikan arena gagahan untuk menguatkan “efek sastranya”, tapi ia mencoba mengekploitasi pemilihan diksinya menjadi sesuatu yang begitu lumrah dalam roman tersebut, sekalipun kita baru mengenalnya.

Seandainya novel teenlit mau bercermin pada mahakarya Pram. Mungkin peran dan fungsi sastra begitu jelas di masyarakat. Kita tak perlu mempersoalkan repetisi karya sastra yang begitu hebat atau bahkan mengarah ke plagiat, namun kita harus berkaca mau kemanakah arah sastra kita? Tak perlu berkutat pada komersialisme kalu ujung-ujugnnya menghacurkan anak bangsa, memang efek seperti ini tidak langsung terlihat, namun perlahan-lahan merubah pola hidup berbahasa masyarakat Indonesia. Inikah yang diimpikan Pram dalam romannya, tentu tidak kita tak perlu menjadi penjajah gaya modern yang menjejah bahasanya sendiri.

Tak begitu banyak yang bisa di analisis, menghakimi karya sastra sekelas tetralogi roman hanya dengan 4 sampi 5 paragraf sungguh tidak bijak. Saya sendiri perlu berpeluh keringat untuk benar-benar mengungkap makna di dalamnya.

Menghakimi karya sastra tentu sah-sah saja, semua orang bisa melakukannya, tetapi tetap saja ada kode etik yang mendasarinya. Tetapi untuk menentukan baik dan buruknya sastra tergantung pembaca sendiri. Seperti sebuah takdir, kadang kepenyairan seorang ditentukan oleh seseorang yang bernama ketua redaksi. Kalau mau jujur betapa susah menjadi penyair, harus mampu menembus benteng redaksi jurnal sastra. Bukan hanya kepenyairan, tapi masa depan kebudayaan ada ditangan otoriterisme redaksi. Proses penghakiman cukup ia katakan “karyanya belum layak dimuat”.

Terlalu jauh mungkin saya berkata-kata, terlalu banyak menggunakan kata mungkin dalam tulisan ini. Tetapi setidaknya kita bisa mengambil hikmah bahwa cerpen yang berbalut cinta tidak hanya berkutat pada gaya hidup anak muda yang mengarah pada nilai-nilai indovidualiasme, atau bahkan melupakan kebudayaan sendiri. Tetapi, tema-tema cinta dalam novel teenlit setidaknya dibarengi dengan nilai norma dan agama. “Para penyair yang bersajak tentang anggur dan rembulan” itulah kata W.S Rendra.


Baca Selengkapnya »»

BAHASA YANG MELEGITIMASI



Munawir Aziz
Pikiran Rakyat Minggu, 03 Mei 2009

Momentum pilpres 8 Juli 2009 ini, akan semakin ramai dengan perang jargon, kompetisi simbol, dan kontestasi legitimasi diri antarsetiap pasangan. Setelah melewati detik-detik saling menutup diri, saling mengintip strategi, akhirnya ketiga pasangan capres-cawapres hadir merebut simpati pemilih. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpasangan dengan Boediono (SBY-Boediono), Jusuf Kalla (JK)-Wiranto (JK-Win), dan Megawati Soekaarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro), sepakat bertarung untuk menjadi pemimpin negeri ini.

Luka dan dendam selepas pemilu legislatif, yang bermuara pada eksistensi partai, bercampur dengan hasrat serta fokus memperebutkan kursi presiden-wakil presiden. Catatan dan riwayat hidup ketiga pasangan capres-cawapres mulai ramai menyesaki halaman koran, menghidupkan perbincangan di televisi, maupun obrolan ringan di media internet. Riwayat SBY sebagai presiden 2004-2009, dengan setumpuk catatan atas prestasi, musibah, dan kebimbangan untuk mengartikulasikan sosok santun dan hati-hati. Boediono, dengan kapasitas sebagai ekonom tangguh, diperbincangkan dengan pertarungan karakter yang dahsyat; antara pendekar ekonomi dan antek asing. Jusuf Kalla, hadir dengan karakter tegas, gaya ucap ceplas-ceplos, namun bertindak cekatan. Wiranto mulai membangun stigma kalem, santun, dan baik hati, namun tak bisa menghindari catatan buram atas riwayat militer yang menjadi tangga kariernya.

Megawati, sebagai tokoh oposisi, mewarisi daya juang Bung Karno, walaupun tak bisa mengakomodasi semua nilai dan praktik perjuangan ayahnya. Sosok mantan presiden selepas Gus Dur ini, masih terkesan "pendiam" dan belum mengartikulasikan kecerdasan dan ketegasan Soekarno dalam strategi politik yang dibangun. Wakilnya, Prabowo Subianto, belum bisa melepaskan diri dari noktah hitam pelanggaran HAM, ketika berkuasa sebagai tokoh militer. Namun belakangan, citra Prabowo sudah didongkrak habis dengan iklan, gerakan politik dan laju partainya yang didukung beragam tokoh. Pertarungan karakter tiga pasangan ini, saling melawan, kadang menjaga jarak, membangun benteng pribadi, dan menyusun stigma diri.


Namun, yang penting diamati dalam kompetisi politik di pilpres 2009, adalah pertarungan bahasa untuk menyusun legitimasi diri. Ruang politik riuh dengan kompetisi bahasa, yang menohok, menyindir, namun kadang dilapisi selaput untuk pertahanan diri. Sindiran kerap muncul di seminar, rapat partai, maupun di sela-sela menghadiri hajatan publik. Media mengukuhkan pertarungan bahasa dalam jejaring kata dan berita. Pertarungan simbol dan citra saling melengkapi diri untuk membangun legitimasi.

SBY-Boediono memanggungkan jargon "bekerja keras untuk rakyat". Kerja pemerintah difokuskan sebagai usaha untuk kesejahteraan rakyat semata. Rakyat hadir sebagai tujuan, namun kerap dikesampingkan.

JK-Wiranto hadir dengan jargon "lebih cepat, lebih baik". Kecepatan ditempatkan sebagai prasyarat untuk mengukuhkan diri yang lebih baik. Istilah "cepat" hadir untuk memukul "lambat serta hati-hati", yang selama ini disandang SBY. Sindiran hadir untuk menggoyang citra lawan, sambil terus berlari menyusun legitimasi diri.

Pasangan Megawati-Prabowo, menahbiskan diri dengan berjuang "membangun ekonomi kerakyatan". Isu yang kerap berdengung ini, merupakan modal penyusun karakter prorakyat. Dimensi ekonomi menguatkan jejaring tanda yang hadir dengan sekian catatan, perenungan dan tujuan untuk menggapai simpati. Jargon-jargon saling berlawanan, menggoyang, merobohkan, namun tetap saja berusaha serius membangun legitimasi dirinya sendiri.

Perang jargon akan semakin riuh, seiring dekatnya gerbang Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Panggung politik ramai dengan perang bahasa, citra, dan pesona, namun absen dari kegigihan memperjuangkan ideologi. Tiga pasangan capres-cawapres juga memakai jurus komunikasi agar dekat dengan telinga konstituen, dengan istilah ringkas dan bernas. Istilah ini menunjukkan optimisme, pesona, citra, namun juga harapan.

SBY Berboedi, muncul dalam deklarasi pasangan SBY-Boediono, di Bandung, 15 Mei lalu. Walaupun cepat-cepat diganti, karena desakan partai pendukung serta pertaruhan politis, namun istilah ini menghadirkan jejak di ring kompetisi pilpres. JK-Wiranto memunculkan harapan kemenangan lewat "JK-Win". Optimisme ditebarkan dengan permainan tanda untuk merengkuh kuasa. Mega-Pro, menjadi tanda komunikasi efektif bagi tim kemenangan Megawati-Prabowo Subianto. Pemilihan istilah ini tentu untuk menarik garis simpati agar mendukung pasangan capres-cawapres dari PDIP-Gerindra.

Pertarungan bahasa akan terus memanas dengan lahirnya jargon dan tanda baru yang disematkan untuk membangun cita diri. Inilah kompetisi politik yang disesaki dengan bahasa yang menyusun legitimasi diri.***

*pemerhati bahasa, peneliti di Cepdes, Jakarta.

Baca Selengkapnya »»