Oleh Feri Muhammad Syukur
Laki-laki setengah tua. Lampau muda. Ketika uban sudah meraja. Kaca di mata menebal. Tungkai tak lagi tegak, merunduk. Mengerut. Mengecil. Kehilangan udara dalam dada. Timbul wibawa karena ketuaan, kemudian sedikit mengikis lagi wibawa itu. Jalan berderma setangkai kayu. Hampir layu. Tubuh itu, berdiri di ambang jendela. Menghadap gedung tua.
Kakinya bergoyang. Tak tentu kemana arahnya. Kursi di gesernya dengan tongkat. Namun, matanya tetap saja memandang gedung tua itu. Tak lepasnya sekejap mata. Orang tua yang sibuk dengan memandang gedung tua, seperti memandang lukisan abstrak para perupa. Atau semacam memandang bayi yang selamat dari sebuah kecelakaan maut.
Dari gedung putih, yang berlantai empat, di tambah taman kecil di ujung gedung, dan pendaratan helykopter, ia masih bisa berharap, nanti, esok hari atau masa depan sebelum ia menutup mata, orang-orang dalam gedung sebrang gedung putih sudah tak ada. Atau sekedar menghilang saja sejenak, sebelum ia menutup mata. Mati penasaran sebelum kandang semut itu menghilang.
Karyo namanya. Karyo Atmowiloto Cokro Bin Bimo. Keturunan jawa, sunda, dan belanda. Walau tanpa van di namanya, orang masih bisa melihat mancung hidungnya, atau mata biru yang menyala di malam hari. Seperti mata kucing yang mengintai mangsanya.
Tak banyak yang ia bisa lakukan. Dalam keadaan yang sempit ini, ia tak bisa berjalan keluar. Melintasi daun pintu, atau hanya menempelkan telinganya di dinding pintu, ingin mendengar luaran kamarnya. Atau sekedar untuk buang angin. Beli kopi. Beli mie. Beli kue. Garam. Baju. Celana dalam. Kutang istri. Atau semacam gincu untuk istrinya yang ke dua. Tak bisa lagi ia lakukan. Tak bisa. Sekali lagi, tak bisa apa-apa.
Karto panggilannya. Karto Atmowiloto Cokro Bin Bimo. Nama ubahan dari Sugeng Suharta. Anak buah Karyo. Lelaki kuasa yang tak bisa keluar rumah. Bahkan kamar pun ia tak bisa. Ketika tak bisanya itu, Karto kini bisa leluasa keluar masuk istana putih. Sebuah gedung bercatkan putih yang hadir dengan pagar mobil-mobil kaca. Berwarna-warni. Motor sekelas apapun tak ada. Di atas gedung itu yang di atasnya ada taman kecil dan tanah bertuliskan H, ia bisa memandang sebuah gedung tua. Setua perkataan orang-orang tentang dirinya. Yang kokoh di terjang badai, hama dan juga semacam bom atom di Hirosima dan Nagasaki.
Dunungannya tak punya pekerjaan lain. Selain memandang gedung tua itu. Dia pernah berkata tentang kelakuannya itu, tapi Karyo tak menjawab. Ia tak bergerak sedikitpun mengenai itu. Kanapa ia selalu berdiri di sana? adakah yang aneh atau indah di sana? adakah kenangan yang tersimpan di sana? harapan mungkin? Semacam unek-unek? Atau segenggam kebencian? Karyo tak menjawab. Sampai akhirnya Karto tak lagi mau bertanya tentang gedung tua itu. Tentang kelakuan tuannya yang aneh.
I
Matahari di bibir hari. anak-anak bayi di paksa bermandi cahaya mentari. Memandang langit dan melahap vitamin yang tak bisa membuatnya kenyang. Mencuri-mencuri kekuatan. Dari tangan matahari yang selalu merayapi bumi. Dari liang semut, hingga liang kemanusiaan yang semakin menganga setiap harinya.
Seperti bisa, Karyo dan Karto datang bersamaan. Seperti amplop dan perangko. Guntur dan halilinar. Karyo, sang dunungan berjas, kemeja putih, celana katun. Bejalan santai dari dalam mobiolnya menuju pintu gedung putih. Karto, yang berjalan di belakang tak jauh berbeda, hanya saja karto berkaca mata hitam. Sehitam kulitnya yang legam.
“Kamu tahu gedung di sebrang sana?”
“Pentagon tuan?”
“Sudah lama saya mendengar bising-bising dari sana. seperti gergaji kayu yang siap membabat hutan.”
“Mungkin hanya perasaan tuan saja.”
“Perasaan pemimpin selalu benar. Benar pada hal-hal yang menyangkut kekuasaan!”
“Maksudnya?”
“Sering saya melihat orang-orang hitam itu membawa roti buaya ke balik bilik mereka. Saya takut kalau mereka akan berguru pada buaya-buaya, Yang akhirnya tumbuhlah gigi-gigi tajam dari balik bibir mereka.”
“Kalau begitu, kita harus mengadakan rapat dadakan tuan?!”
“Kumpulkan sekarang juga orang-orang kita Karto. Kita akan mengadakan rapat dadakan yang tertutup!”
“Bagaimana dengan para preman? Apa harus juga kita undang?”
“Kamu jangan lupa, kalau mereka itu adalah anjing-anjing kita yang harus kita beri makan. Agar mereka mau menuruti perintah kita. Menjaga kita dan mengabdi pada kita.”
Sambil menutupkan pintu kerjanya, Karyo menutup pembicaraan hari itu.
II
Dari balik pentagon. Bersebrangan dengan gedung rektorat. Yang di antara mereka menghadang taman parterre. Beberapa pohoh beringin tua hidup di antara lantai-lantai keramik. Tembok pertahanan masing-masing dari serangan musuh. Bagi rektorat dari pentagon. Bagi pentagon dari rektorat.
Segerombolan semut berjalan masing-masing. Tetap saling sapa dan saling mewasiatkan. Seolah mereka menyimpan sebuah rahasia besat. Yang sangat besar tanggung jawabnya. Semut satu dan yang lainnya tak bisa berbagi senyum. Mereka berbicara dari tangan satu ke tangan yang lainnya. Hanya saling raba. Dari jala tangan yang berkeriangat, satu sama lain bisa menilai satu sama lain. Apakah dia kawan ataukah lawan.
Semua saling curiga. Junior dengan seniornya. Mahasiswa dengan dosennya. Dosen dengan jurusannya. Jurusan dengan dekannya. Dekan dengan rektornya. Dan rector dengan mahasiswanya.
Beberapa orang yang tertangkap sebagai status prasangka mata-mata tak bisa menghindar. Dari tajamnya pedang yang di asah oleh kebencian. Ketidak percayaan yang menggelayuti. Apalagi tersangka, yang tervonis dengan amarah, tak bisa selamat. Ruh yang abstrak sekalipun tetap harus merasakan sebuah kekejaman. Saling curiga.
Ketika orang-orang pentagon sedang asik membagi roti di meja permasalahan, mereka tak bisa menyembunyikan garis-garis muka yang menghitam. Karena benturan moral dengan kebijakan. Antara tanda tangan dan toa yang berteriak. Atau palu meja hijau dengan urat kerongkorangan yang menegang.
Daftar hadir di isi. Nama-nama tercantum sebagai pengikat. Agar kata dan laku mereka bisa di ikat. Seperti tali anjing yang melingkar di leher. Agar tak menggigit.
Satu, dua, tiga dan seterusnya kalimat berurai. Berjatuhan. Seperti hujan. Seperti daun di masa kemarau. Seperti buah mahoni yang berjatuhan dari pohonnya. Berputar. Menari. Memalingkan pahitnya biji dengan tariannya. Jatuh kejalan. Ke taman. Di atap rumah. Di kendaraan. Di tangan anak kecil. Di tangan orang dewasa. Menyentuh buku. Menyentu toga. Terinjak sepatu. Tergilas ban. Di makan burung. Masuk kolam. Satu sama lain tak saling bertemu. Sendiri-sendirinya berjalan.
Dari jauh. Di sebrang pentagon. Sepasang mata nyalang memperhatikan mereka. Gerak bibir berbicara di tafsirkan sebagai sebuah ancaman. Gerak tangan yang memutarkan pena berubah menjadi panah yang siap melesat. Kertas-kertas seperti sebuah senjata yang akan menghukumi dirinya dengan segala tuduhan.
Karyo berbicara dengan seseorang di selulernya. Dengan sekali-sekali menelan ludah. Karyo berdiri dari kursinya, melewati meja dinas dan jas yang tergantung. Membuka jendela dan melemparkan pandangannya ke sebrang.
“Siapkan saja semuanya. Saya akan urus semut-semut kecil itu. Tak usah takut. Saya akan jamin kalau mahasiswa kami tidak akan turun ke jalan. Ya, semuanya tanggung jawab saya sebagai rektorat di kampus ini. Kalau mereka memaksa, maka akan saya paksa juga para dosen untuk menyembelih nilai mereka. Tenang saja pak. Bapak tinggal urus saja undang-undang pendidikan yang belum selesai itu. Bukankah undang-undang itu juga sangat penting untuk kepentingan kita? Orang-orang yang berpengaruh dalam dunia didik mendidik. Ya, saya mengerti. Bapak minta yang bagai mana? Ya, saya akan kirimkan dia nanti sore. Kebetulan hari ini dia ada kelas. Hingga tengah hari.”
III
Hari itu, di mana hari-hari yang berputar seperti meinggu kemarin. Tak ubahnya seperti mobil yang berjalan di jalan. Dari jauh menjadi dekat, dari dekat kemudia menjadi jauh, meninggalkan asap tebal di muka jalan. Hanya beberapa orang saja yang turun ke jalan. Semua mati. Di tembak para polisi. Teman-teman yang lain, yang selamat dari penculikan para aparat, menghilang. Tak di temukan jejaknya.
Hari sudah siang. Para mahasiswa hanya tersisa empat orang. Yang lain sudah pulang, teman-teman sembilan orang lainnya. Toa tak bisa lagi diandalkan. Hilang suara. Tiba-tiba saja terkena panas dalam. Serak. Kalau adapun tinggal jerit kesakitan. Hanya itu tersisa. Dari sebuah perjuangan yang saling cemburu. Curiga. Dan saliang terkam. Semut-semut malang yang tak bertuan. Kini hilang, tak punya kandang. Musnah menjadi arang.
Bandung, 2008
0 komentar:
Posting Komentar