Sajak Mengundang Asosiasi, Bukan Interpretasi

“Seorang kritikus.” Kata H.B Jassin “ adalah seorang manusia biasa, yang pernah juga berbuat suatu kekeliruan.”

Dan kekeliruan yang sering dilakukan kritikus sastra adalahkeliru bersikap sewaktu menghadapi sebuah sajak. Dalam menghadapi sajak yang bagus (sempurna) atau sajak yang jelek sikapnya sama, masing-masing dianggapnya sebuah objek. Padahal sebuah sajak yang bagus, yang sempurna dalam arti tidak mengandung cacat apapun sesungguhnya dia itu bukan sebuah objek tetapi sebuah subjek. Sebuah subjek yang mengandung asosiasi pembaca, bukan mengundang interpretasi kita. Dengan kata lain kita mesti membaurkan diri, melluhkan diri padanya, bukannya kita lantas mengadakan jarak terhadapnya.


Memang dalam menghadapi sebuah sajak yang gagal sebagai sebuah sajak atau yang masih mengandung kelemahan di sana-sini, pengadaan jarak itu tidak dapat kita hindarkan. Sajak itu sendiri sudah tidak mampu menjadikan dirinya sebuah subjek, dia menggelindingkan dirinya selaku sebuah objek untuk dianalisa, diinterpretasikan orang-para kritikus. Dan fungsi para kritikus pada saat semacam ini, sangat menguraikan panjang lebar tentang apa-apa yang menyebabkan sajak tersebut lemah atau gagal, fungsinya adalah membei bimbingan apresiasi secara tidak langsung kepada pembaca. Eputar teknik persajakan. Di samping itu penyair yang bersangkutan dapat mengambil manfaat dari kritik terhadap dirinya itu demi kesempurnaan karyanya di hari mendatang. Betatapun pedas atau tajamnya sebuah kritik, seorang penyair sejati akan tetap berterima kasih, karena dia menyadari demi perkembangan karir sebuah kritik jauh lebih berharga ketimbang sebuah pujian.

Lewat instuisi kita dapat menentukan sebuah sajak yang sedang itu berisi atau kerempeng mutunya. Kita tidak boleh silau oleh nama masyur seseorang, tidak semua sajak yang hasil gubahannya otomatis punya bobot. Sebagai mana seorang kritikus, sang penyair pun seorang manusia biasa, yang sekali tempo tergelincir pada kekeliruan bersikap sewaktu menulissajknya (kelebihan yang masyur adalah pada kepercayaan pembaca terhadap sajak-sajaknya. Kemiudian dalam menghadapi sebuah sajak yang sempurna, yang digubah secara serius oleh penyairnya, maka sajak itu sendiri menjelma menjadi sebuah subjek yang mengundang pembaca untuk berasosiasi.

Berasosiasi pada masa lalu, pada segala kesan dam kenangan sepanjang hidupnya, yang masnis, yang muram, yang tidak sanggup dia ungkapkan lewat kata-kata setepat dan seunik yang berhasil diungkapkan oleh penyair yang sedang dihapinya itu. Itulah sebabnya dalam kehidupan sehari-hari seseorang sengaja mencari sajak-sajak gubahan penyair tertentu yang dirasakannya teramat akrab lantaran persesuaian tema. Pembaca yang suka merenung akan suka mencari Goenawan Mohamad misalnya, mereka yang gemar filsafat akan menggandrungi Subagio Sastrowardojo sedangkan pembaca yang tengah terlihat percintaan akan mecari sajak-sajak W.S Rendra dalam fase permulaan karirnya tempohari.

Sevuah sajak pada hakikatnya mengundang kita berasosiasi. Tidak berintrepetasi, bertafsir-tafsir. Sekaitan dengan masalah inilah kiranya ,etode Ganzheit (kesan keseluruhan) tepat diterapkan dalam suatu penilaian, Khusus untuk sajak yang tidak memiliki catat. Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa Ganzheit bukan sebuah metode penilaian, Cuma merupakan sebuah cara menikmati yang benar atas cipta sastra (Kusdiratin: “Situasi Kritik Sastra Indonesia Sampai Dewasa Ini”, HORIZON no. 5 th 1976). Pendapat ini mau tak mau akan menimbulkan sebuah pertanyaan :apakah kritik sastra tidak punya fungsi lagi dalam menghadapi ciptasastra yang semprna?—Kalaulah yang kita maksudkan dengan kritik adalah pengertiannya yang denotatif.

Seorang kritikus sewaktu menyodorkan kemampuannya menjembatani jurang yang terbentang di antara pembaca awam dengan ciptasastra yang cukup bert (novel TELEGRAM : Putu Wijya Misalnya) pada hakekatnya dia condong berbicara selaku seorang esais, beresai tentang rimba berkabut yang merupakan esensi dunia seni.

Jadi dituntut suatu kewaspadaan dankecermatan seorang yang menjadi kritikus sastra untuk menghidari perbaruan, kecampuradukan dalam sikap antara kritik dan esai. Antara perbedaan jarak dan peluluhan diri. Antara sasaran yang serupa objek dan subjek. Antara sumber yang mengundang intrepretasi dan asosiasi.

Tentu saja dituntut pula pada penyair, tak peduli senior atau yunior-untuk berlapang dada menerima kritik, karena masing-masing sesunggunya manusia biasa, bukan nabi.

Sumber Artikel Tulisan
*Mata Kuliah Kajian Puisi Dosen Ma’mur Saadi
*Buku Apresiasi Puisi dan Prosa Karya Putu Arya Tirtawirya

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah bergabung bersama kami. Komunitas Anak Sastra