Oleh Adam Rizal M.
Peirce yang nama panjangnya adalah Charles Shander Peirce (1839 – 1914) bukan satu-satunya tokoh semiotik. Masih banyak tokoh-tokoh lain yang bisa dipelajari pandangan mereka tentang semiotik lewat arus semiosis. Pada dasarnya Peirce cukup memberikan keluasan bagi mereka, yang tidak hanya tertarik pada tanda linguistik, tetapi juga jenis tanda lainnya yang beragam.
Peirce baru sekitar tahun delapan puluhan dikenal di Indonesia, ketika Aart van Zoest, yang disertasinya tentang Peirce datang ke Fakultas Sastra Indoenesia (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Budaya) dan memberi kuliah tentang semiotik. Pada saaat yang sama dibentuk pula lingkaran Semiotik yang mewadahi peminat semiotik.
Konsep dasar dari Peirce, terutama yang berhubungan dengan katagori tanda (sigh) dan kemungkinan aplikasinya secara sederhana, memang menarik siapapun dari lintas disiplin ilmu apapun untuk dipelajari. Tulisan-tulisan Peirce lebih bersifat umum, tetapi mendasar untuk konsep tanda.
Pengikut Peirce seringkali membedakan antara semiotik dari semiologi. Mereka menyebut Semiotik untuk aliran Peirce, dan semiologi sebagai khas aliran Saussure. Mengenai hal ini, pernah ada seseorang yang menjelalaskan bahwa Saussure sebenarnya memperhatikan aspek sosial di belakang penandaan, sementara Peirce lebih tertuju pada “the logic of general meaning”. Oleh karena itu, Sassure dan Peirce meski tidak saling mengenal—karena masing-masing berada di benua yang berbeda—memang bertolak dari titik yang berbeda dengan pendekatan berbeda pula.
Peirce memang punya intens yang kuat dalam pemahaman tentang logika. Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Peirce berkehendak untuk menyelidiki bagaimana proses bernalar manusia.. Teori Peirce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar, sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotik tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika itu sendiri.
Sedangkan di sisi lain, terdapat pula tradisi semiotik yang dibangun pakar linguistik Ferdinand de Saussure (1857-1913). Sebagai sarjana linguistik, Saussure tidak pernah menyusun teori semiotik satu pun, bahkan dalam buku induknya yang berjudul Caurse in General Lingustics (1966), tidak disinggung sebenang pun teori-teori semiotik. Bahkan kitab suci semiotik itu tidak ditulis oleh Saussure, namun oleh dua orang muridnya yang bernama Charles Bally dan Albert Sechehaye.
Bahasa dalam perspektif semiotika hanyadalah satu sistem tanda-tanda (system of Signs). Dalam wujudnya sebagai suatu sistem, pertama-tama, bahasa adalah sebuah institusi sosial yang otonom, yang keberadaannya terepas dari individu-individu pemakainya. Menurut Saussure bahasa merupakan salah jaringan tanda. Secara khusus tanda-tanda kebahasaan memiliki karakteristik primordial, yakni besifat linier (penanda) dan arbitre (petanda).
Dengan kata lain, bahasa merupakan suatu sistem konvensi, sistem tanda-tanda yang konvensional. Tanda-tanda yang arbitre serta konvensional ini kemudian oleh Peirce secara khusus disebut Symbol.. Oleh sebab itu, dalam terminologi Peirce, bahasa dapat dikatakan juga sebagai sistem simbol lantaran tanda-tanda yang membentuknya bersifat arbitre dan konvensional.
Menurut terminologi Peirce, simbol adalah tanda-tanda yang arbitre, sementara menurut Saussure, sebaliknya, simbol adalah tanda-tanda yang tidak sepenuhnya arbitre. Tanda-tanda yang arbitre disebut sebagai sign atau tanda saja; sementara tanda-tanda yang non arbitre oleh Peirce disebut sebagai ikon.
Bagi para selebriti semiotik dalam bukunya yang berjudul Ikonisitas, Kris Budiman menghimbau untuk dijadikan satu pelajaran bagi siapa pun yang hendak belajar semiotik. Akan tetapi, terlepas dari kerancuan konseptual di atas, boleh dikatakan bahwa hampir di sepanjang riwayatnya linguistik dan semiotik terlampau menekankan pada konvensionalitas atau kearbitreran tanda sehingga kerap mengabaikan karakteristik tanda yang sebaliknya—seolah-olah bahasa tidak mungkin berkarakteristik ikonis.
Tipologi Tanda Ikonis
Titik sentral dari semiotik Peirce adalah sebuah trikotomi dasariah mengenai relasi “menggantikan” (stand for) diantara tanda dengan objeknya melalui interpretan, sebagaimana dikemukakan sendiri Peirce dalam rumusannya yang terkenal. Trikotomi tersebut adalah representamen yaitu sesuatu yang bersifat inderawi (perciple) atau material yang berfungsi sebagai tanda. Kehadiranya kemudian membangkitkan interpretan, yakni suatu tanda yang ekuivalen dengannya, di dalam benak seorang interprener. Lalu muncul objek yang diacu oleh tanda, atau sesuatu yang kehadirannya digantikan tanda.
Proses tiga tingkat (three-fold process) di antara representamen, objek, dan interpretan yang dikenal sebagai proses semiosis ini niscaya menjadi objek kajian yang sesungguhnya dari setiap hasil studi semiotika. Dengan kata lain, semiosis adalah sebuah rangkaian yang tidak berujung pangkal, tanpa awal, tanpa akhir sebuah semiosis yag tanpa batas (unlimited semiosis). Hal itu karena, masing-masing representamen, interpretan dan objek saling bisa menggeser.
Peirce mengembangkan seluruh klasifikasinya ini berdasarkan tiga katagori universal berikut,
1.Kepertamaan (firstness) adalah mode berada sebagaimana adanya, positif dan tidak mengacu pada sesuatu yang lain. Ia adalah katagori dari perasaan yang tak terefleksikan, semata-mata potensial, bebas dan langsung; kualitas tak ter-bedakan dan tak tergantung.
2.kekeduaan (secondness) merupakan metode yang mencakup relasi yang pertama dan kedua. Ia merupakan katagori perbandingan, faktisitas, tindakan, realitas, dan pengalaman dalam ruang dan waktu.
3.keketigaan (thirdness) mengantar yang kedua ke dalam hubungannya dengan yang ketiga. Ia adalah katagori mediasi, kebiasaan, ingatan, kontinuitas, sintesis, komunikasi (semiosis) representasi, dan tanda-tanda.
Trikotomi Pertama Peirce
Dilihat dari sudut posibilitas logis (logical posibilities) Peirce membedakan tanda-tanda menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Pembedaan ini menurut hakikat tanda itu sendiri, entah sebagai sekadar kualitas, sebagai suatu eksistensi aktual, atau sebagai suatu kaidah umum.
Qualisign, merupakan suatu kualitas yang merupakan tanda, walaupun pada dasarnya ia belum dapat menjadi tanda sebelum mewujud. Hawa ingin yang kita rasakan pada tubuh, ketika hujan turun, misalnya adalah qualisign sejauh dia hanya terasa dalam tubuh kita.
Sinsign, adalah suatu hal yang ada (existent) secara aktual yang berupa tanda tunggal diindikasikan lewat awalan sin-). Ia hanya dapat menjadi tanda melalui kualitas-kualitasnya sehingga dengan demikian, melibatkan sebuah atau beberapa qualisign. Hawa dingin yang kita rasakan tadi, apabila kemudian diungkapkan dengan sepatah kata “dingin”, kemudian secara spontan tangan kita sedekapkan dalam tubuh, ini merupakan sinsign.
Terakhir dalam trokotomi pertma adalah legisign yang merupakan suatu hukum atau law. Seperangkat kaidah atau prinsip yang merupakan tanda konvensional kebahasaan adalah legisign. Ungkapan Malam hari yang begitu dingin adalah legisign karena tersusun berkat adanya tatabahasa.
Trikotomi Kedua
Dipandang dari sisi hubungan representamen dengan objeknya, yakni hubungan “mengantikan” atau the “standing for” relation, tanda-tanda diklasifikasikan Peirce menjadi Ikon, Indeks (index) dan simbol. Pembagian tanda trikotomi ini menurut Peirce sangat fundamental.
Ikon, merupakan tanda yang didasarkan pada keserupaan atau kemiripan di antara representaen dan objeknya, entah objek itu betul-betul eksis atau tidak. Akan tetapi, sesungguhnya ikon tidak semata-mata mencakup citra-citra “realistis” seperti pada foto atau lukisan, melainkan juga pada grafis, skema, peta geografis, persamaan-persamaan matematis, bahkan metafora.
Kedua, indeks, merupakan tanda yang memiliki kaitan fisik, eksistensial, atau kausal di antara representamen dan objeknya sehingga seolah-olah akan kehilangan karakter yang mejadikannya tanda jika objeknya dihilangkan atau dipindahkan. Indeks bisa berupa hal-hal semacam zat atau benda material, asap (asap adalah indeks dari adanya api), gejala alam (jalan becek adalah indeks dari adanya api).
Indeks pun terwujud dan teraktualisasi di dalam kata penunjuk (demonstratif) seperti ini, itu, di sini, di situ, dan seterusnya; gerak-gerik (gesture) seperti jari telunjuk yang menuding; serta berbagai tanda visual lain. Dalam lukisan garis-garis juga menjadi bagian dari indeks.
Ketiga adalah simbol. Seimbol merupakan tanda yang representamennya menunjuk kepada objek tertentu tanpa motivasi (unmotivated); simbol terbentuk melalui kovensi-konvensi atau kaidah-kaidah tanpa adanya kaitannya langsung diantara representamen dan objeknya, yang oleh ferdinand de saussure dikatakan sebagai sifaf tanda yang arbitrer.
Trikotomi Ketiga
Trikotomi ketiga, menurut hakikat intrepetannya, anda-tanda dibedakan oleh Peirce menjadi rema (rheme), tanda disen, serta argumen.
Pertama, Rema adalah suatu tanda kemungkinan kualitatif, yakni tapa apapun yang tidak betul dan berdiri sendiri adalah rema, bahkan nyaris semua kata tunggal—dari kelas kata apapun, entah kata kerja, kata sifat, dsb—adalah rema pula, kecuai tanda ya dan tidak atau benar dan salah.
Kedua, tanda disen atau dicisign adalah tanda eksistensi aktual, suatu anda yang biasanya berupa sebuah proposisi. Sebagai proposisi, disen adalah tanda yang bersifat inforatif. Akan tetapi, berbeda dengan rema, sebuah disen adalah betul atau salah, namun tidak secara langsung memberi alasan mengapa begitu.
Ketiga, adalah tanda “hukum” atau kaidah, suatu tanda nalar, yang disadari oleh leading principle yang menyatakan bahwa peralihan dari premis-premis tertentu kepada kesimpulan tertentu adalah cenderung benar. Apabila tanda disen Cuma menegakkan eksistensi sebuah objek, maka argumen mampu membuktikan kebenarannya.
1 komentar:
thx u/ share
Posting Komentar