Oleh : Hendri R.H
Kompas.com Senin, 30 November 2009
Sepertinya ini sebuah guratan takdir bahwasannya kami harus menyembah redaksi kebudayaan untuk dikatakan sebagai seorang sastrawan. Lalu apakah menjadi sebuah kemutlakan bahwa sastrawan harus melewati penggonjlogan redaksi sastra?
Gelar sastrawan bagi seorang penyair, penulis, esais, dan dramawan bukanlah proses formal sebuah pendidikan akademik. Ada semacam dikotomi bahwa sebenarnya pendidikan formal bagi sastrawan adalah media massa. Pemerolehan gelar sarjana sastra dalam formalitas akademik, tentu tidak menjamin menjadi sastrawan, diperlukan suatu jalan panjang bahwa proses kreatif dan pengakuan dari sastrawan lain itu hal yang cukup penting.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang berbeda, proses untuk mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan tidaklah mudah. Ada semacam gengsi tersendiri bahwa seorang sastrawan harus identik dengan media massa, atau bahkan karyanya harus sering nongol di media massa.
Sastrawan yang baru naik daun akan senang ketika karyanya dihargai oleh orang sekelas Nirwan Dewanto, atau bahkan sekalipun dicaci maki oleh seorang H.B Jassin. Karya sastra yang dihasilkan tentu bukan hanya untuk konsumsi pribadi namun juga dipublikasikan ke khalayak umum. Dengan kata lain sastrawan sendiri membutuhkan eksistensi agar karya-karyanya dapat dikenal.
Menariknya dalam ruang lingkup sejarah sastra Indonesia, kemunculan media massa membawa angin perubahan yang cukup berarti, lihat saja W.S Rendra yang karyanya pertama kali dimuat dalam majalah-makalah terkemuka di Jakarta dan lembaran kebudayaan di Solo dan Yogya. Belum lagi Seno Gumira Adjidarma, Acep Zamzam Noor, Sutardji Calzoum Bachri dan Joni Aria Dinata yang hidup dan menemukan gelar sastrawannya lewat media massa.
Penghargaan dan pengakuan tersebut sebenarnya membuat sebuah pembenaran bahwa seorang penulis ketika berhasil melewati testing redaksi, telah dianggap sebagai seorang sastrawan. Asumsi semacam ini memang benar adanya, karena saking hidupnya dunia sastra, bermunculan penyair-penyair muda dalam khazanah sastra Indonesia. Di satu sisi hal ini menjadi modal awal bagi sastrawan muda untuk menggali dan mengembangkan potensinya. Terlebih ketika karyanya dimuat, mau tidak mau akan mempengaruhi kepercayaan dirinya.
Dalam ruang batas seperti inilah, penggolongan antara penulis akademik dan non-akademik, berbaur menjadi satu. Dihadapan seorang redaktur sastra, tidak ada semacam dikotomi berlabel akademisi sastra, justru karya yang menjadi label tersendiri. Sehingga siapa saja bisa menemukan gelar sastrawannya ketika memasuki dunia koran dan majalah.
Pengkaderan sastrawan oleh redaktur sastra sebenarnya berawal dari abad ke-20 ketika di Bandung terbit sebuah surat kabar Medan Prijaji dengan redaktur R.M.D Tirto Adhi Soerjo yang memuat cerita-cerita bersambung berbentuk roman. Berlanjut sampai zaman balai Pustaka dan angkatan 66, sudah banyak media massa yang ikut melestarikan sastra diantaranya Jong Sumatra, Sastra, Indonesia dan Horizon dan Kalam yang dikelola oleh kelompok Teater Utan Kayu. Sampai sekarang ini, mungkin hanya surat kabar yang masih setia menyajikan rubrik sastra tiap minggu.
Pemerolehan gelar untuk menjadi seorang sastrawan tentu saja tidak harus melalui koran atau majalah. Taufik Ismail misalnya, justru eksis ketika karyanya dibacakan dalam sebuah demonstrasi mahasiswa dan pelajar dalam menyampaikan TRITURA. Pengarang yang hidup dalam dunia “perlawanan” juga tak kalah eksistensinya, misalnya Wiji Tukul yang menyuarakan kaum buruh.
Tetapi hal demikian akan sulit diterapkan pada masa sekarang, dulu ketika orang membaca dan menulis dianggap sebagai sebuah barang langka, kini setiap orang bisa melakukannya. Sehingga mau tidak mau sastrawan butuh media untuk eksisistensi dan penggonjlogan dari redaksi sastra, terutama bagi media yang sudah malang melintang di media massa, seperti Horizon, Kompas, Republika, dan Tempo. Persaingan tentu menjadi hal menarik untuk mengukuhkan gelar sastrawannya.
Bahkan saking ketatnya persaingan untuk karya pada koran dan majalah. Seorang sastrawan muda harus mampu bersaing dengan sastrawan senior dalam hal eksistensi. Sastrawan sekelas Hamsad Rangkuti, Taufik Ismail, Putu Wijaya dan Sides Sudyarto, masih tetap aktif menulis untuk Koran dan majalah. Padahal sebenarnya mereka sudah mempunyai pamor jika seandainya mau menerbitkan buku sekalipun.
Seno Gumira Adjidarma yang malang melintang dalam dunia Koran, membuat sendiri kumpulan cerpennya, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta, Saksi Mata, Penembak Misterius, Kematian Donny Osmond, Dunia Sukab, Iblis Tidak Pernah Mati, Di Larang Menyanyi di Kamar Mandi, adalah kumpulan cerpen dia ketika ditulis di media massa. Padahal jika berpijak pada ketenaran namanya, dia toh bisa saja membuat antologi independen yang terlepas dari media massa. Namun testing media massa justru membuat para cerpenis membukukan kembali karyanya, seakan cerpen-cerpen tersebut sudah lulus dan berlabel sertifikasi media massa.
Lain hal dengan para penyair yang rame-rame membukukan kembali karyanya ketika di media massa. Kompas saban tahun juga menerbitkan buku kumpulan cerpen, yang lebih dikenal dengan cerpen pilihan kompas. Pembukuan kembali cerpen seperti ini seperti mengundang kembali kanonisasi karya sastra yang digembar-gemborkan oleh Saut Situmorang.
Sebenarnya kanonisasi yang heboh terlebih dahulu, ketika seorang kritikus sastra Marcel Reich-Ranicki jerman membuat kumpulan karya terbaik. Menurut dia, karya tersebut layak dipandang sebagai karya abadi. Bagaimana dengan Indonesia, tentu saja menimbulkan polemik tersendiri. Akan timbul asumsi publik bahwa karya sastra di luar kumpulan karya sastra tersebut merupakan karya yang tidak bermutu, terutama kumpulan karya media massa ternama yang sudah lulus testing redaksi sastra.
Saut situmorang bahkan menyebut bahwa betapa susahnya menjadi seorang sastrawan Indonesia. Seperti yang ia ungkapkan ketika mengutip pernyataan Nirwan Dewanto dalam “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003.Redaktur Tempo ini mengatakan.
“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”
***
Memandang sekilas tentang peranan media masa dalam mendidik seorang penyair. Akan selalu berbenturan bahwa dengan otoriterisme seorang redaksi sastra atau setidaknya harus melewati meja redaksi. Akibatnya banyak orang yang hendak menjadi seorang sastrawan harus menelan pil pahit karena karyanya dimuat sama sekali. Sebagai perlawanan muncul berbagai media lainnya sebagai tandingan media massa, yaitu Internet.
Kemunculan situs dan komunitas sastra Internet mulai merebak ketika Internet masuk ke Indonesia. Hakikatnya setiap orang bisa menulis karya sastra, tanpa ada interfereni semacam redaksi sastra, bahkan saking mudahnya, orang bisa memajang karya-karya dalam ruang pribadi di internet.
Antologipuisi, puisikita, gedongpuisi, puitika dan cybersastra merupakan antek-antek generasi sastra Internet. Saking merakyatnya dunia sastra orang-orang mulai meramaikan khazanah sastra Internet. Malah tahun 2002 situs cybersastra membuat sebuah antologi puisi bernama cyberpunk. Penerbitan antologi puisi sebagai “jalan pintas” untuk mencapai gelar sastrawan tentu saja mengundang berbagai reaksi keras. Dalam sebuah esai Saut Situmorang, Maman S. Mahayana Pengajar FSUI mengatakan , bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka.
Sebuah tamparan keras juga dilontarkan Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur Republika ini menyebut bahwa pemuatan karya sastra di Internet, hanyalah karya yang tidak lolos ke Media. Pernyataan ini seakan-akan ada dikotomi yang begitu jauh antara sastra Koran dan sastra Internet.
Para penulis di dunia internet, mungkin menyadari betul bahwa eksistensi menulis di media masa tentu lebih menantang dan mendapatkan keuntungan finansial tersendiri. Namun sepertinya karena kemudahan dan kemajuan zaman, mereka dengan mudah dapat menciptakan media sendiri, sehingga akan lebih bebas berekspresi tanpa rasa deg-degan kecewa ketika karyanya tidak dimuat.
Label-label media massa yang diisi oleh para sastrawan seperti Nirwan Dewanto, Ahda Imran, Rahim Asik, Ahmadun Yosi Herfanda. Seakan sebuah simbolisme keutuhan pengkaderan gelar sastrawan, di tangan merekalah mungkin gelar tersebut dapat diperoleh.
Pemilihan media massa untuk membuka gerbang seorang sastrawan memang tidak dapat dielakan. Eksistensi dan persaingan tentu menjadi hal yang menarik dan menuntut seorang untuk lebih kreatif. Tetapi untuk menjadi gelar seorang sastrawan tentu tidaklah mudah, tidak hanya mengandalkan peran media massa, pemantapan, daya kreatifitas, atau bahkan gelar akademik sekalipun. Karena menjadi seorang sastrawan adalah panggilan hati, itulah kiranya yang dikatakan oleh Acep Zam-zam Noor.
0 komentar:
Posting Komentar