Kala Nabi Menjadi Jahat




Hendri R.H

kompas.com Senin, 14 Desember 2009

Apakah Nabi harus manusia yang membawa kebenaran? Apakah seorang Nabi harus membawa kebahagiaan bagi umatnya? Apakah seorang Nabi harus membawa kedamaian di muka bumi? Bagi sebagian orang jawabannya ya. Tapi bagi teater lakon UPI Bandung, lain lagi ceritanya. Tanggal 21 November bertempat di gedung PKM UPI mereka membawakan drama besutan Arifin C Noer berjudul Umang-umang, sosok Nabi yang selalu identik dengan pembawa nilai kemanusiaan, kini berubah radikal menjadi sosok yang jahat berwujud manusia, kesukaannya merampok, mencopet, memalak, bahkan membunuh orang. Sungguh radikal bukan?

Adalah Dedy Warsawa sang sutradara yang menjembatani nilai amanat yang ACN tulis dalam bentuk seni pertunjukan. Dari mulai seni dekorasi, pertunjukan bahkan seni musik, ia hadirkan guna menghadirkan roh ACN ke dalam panggung.

Tidak berlebihan saya mengatakan demikian, pikiran ACN yang kerap terperangkap dengan persoalan sosial, ujung-ujungnya memaksa kita menyerap mentah-mentah kritik sosial, gaya parlemen jalanan, bahkan pesta orang-orang marjinal. Kompleksitas tersebut nampaknya ada dalam drama tersebut, terlebih ACN membawa-bawa seorang Nabi dalam naskah umang-umang.

Jika merunut kebelakang, seni drama seringkali lahir dari persoalan sosiologi. Lihat saja Shakespare dengan karyanya Hamlet, begitu berani mengangkat persoalan yang waktu itu oleh gereja dianggap wilayah abu-abu. Lebih-lebih di negeri ini, konon disebut juga negara dunia ketiga.

Karena padahakekatnya setiap karya sastra (drama) merupakan jawaban terhadap berbagai hipotesis hidup, maka ACN menghadirkan belenggu sosialnya dengan pertunjukan drama. Saya masih ingat ketika menonton drama Tengul dan AA-II-UU nuansa tersebut hadir dalam setiap adegan yang dibawakan. Dan pada akhirnya hipotesis tersebut akan menjadi efek domino saling melengkapi, dan merupakan serangkaian potret-potret diri kita dalam berbagai ekspresi aktor.

Dari Nabi sampai ke Semar
Bentuk dualisme tokoh dalam pertunjukan drama, baru pertama kali saya tonton. Bentuk-bentuk seperti itu bisa saja menghadirkan sebuah revolusi pertunjukan atau bahkan menambal kekurangan dengan tidak adanya “monolog cerita”. Saya menemukan bentuk dualisme ini dalam tokoh Waska yang diperankan oleh Yussak Anugrah. Disatu sisi Waska digambarkan sebagai seorang Nabi bagi penjahat dan perampok, namun di sisi lain ia berpose sebagai seorang penuntut cerita layaknya dalang dalam hal ini sebagai tokoh Semar.

Waska yang merupakan penjelmaan kaum marjinal, membawakan sosok spiritual bagi kaumnya, ia hendak merampok kota dengan membawa kaum yang memujanya. Oleh kaumnya ia dianggap sebagai seorang Nabi yang membawa kebenaran dan keberuntungan hidup, terlebih mereka berada dalam zona ekonomi lemah, Waska hadir dan memberikan solusi untuk merampok kota.

Lain halnya dengan Waska yang dipentaskan dengan gaya dualisme penokohan, dua orang tangan kanannya Ranggong dan borok yang masing-masing diperankan oleh Sahlan Bahuy dan Chandra Kudapawana, menyajikan bentuk yang satu watak satu pertunjukan. Mereka digambarkan setia untuk mewujudkan keinginannya tuanya. Tapi masalah timbul ketika Sang Nabi tiba-tiba sakit dan menuntut mereka untuk mencari obat kepada seorang nenek agar sang Nabi dapat hidup kekal. Nenek tersebut mensyarakatkan untuk memakan jantung bayi. Hingga mereka kekal dan tak bisa mati, dan disinilah masalah muncul, karena ketika keinginan merampok kota terpenuhi, mereka mengingkari keinginan sebelumnya yaitu hidup kekal. Kini mereka tersiksa karena tidak bisa mati, berbagai cara dilakukan agar bisa mati, tapi tetap saja nihil. Sama halnya dengan nihilisme penokohan, begitu absurd dan liar.

Perwujudan tokoh dengan watak yang penuh absurdisme, setidaknya menuntut penonton untuk memasangkan tokoh dengan alur cerita. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi tersendiri karena tokoh dan penokohan dalam drama biasanya menampilkan juga kompleksitas psikologis. Sehingga justru yang berkembang adalah tokoh-tokoh tiruan dunia nyata dengan memasukan untuk absurdisme. Dalam teater kompleksitas tersebut kadang membawa tantangan penafsiran bagi penonton, namun seperti yang saya sebutkan, penonton harus jeli memisahkan antara bentuk universal tokoh dengan aspek psikologisnya.

Kita ambil tokoh Waska, yang dianggap sebagai Nabi. Penonton bisa saja tergiring bahwa Waska adalah tokoh yang jahat dan penuh onar, dalam dimensi seperti ini memang benar adanya. Namun, jika harus berpikir ala dekosntruktif, tokoh Waskalah yang mempunyai peranan yang baik, bahkan bagi dimensi penonton sekalipun, karena setiap tingkah lakunya yang jahat dia menghadirkan aspek psikologisnya untuk membawa pesan moral.

Saya sendiri menyimpulkan bahwa tokoh dan penokohan tersebut hanyalah dijadikan sutradara untuk mewujudkan gagasan-gagasannya. Tubuh dan gesture aktor menjadi gagasan sutradara, sehingga ia akan kehilangan identitas sesungguhnya. Lihat saja Tokoh Waska dan Semar, begitu apik sutradara menjembatani dua tokoh yang bertolak belakang ini.

Mungkin bagi ACN penggambaran Waska merupakan kenikmatan tersendiri menghadirkan tokoh yang penuh anomali. Dalam sebuah tulisan di blog ACN, dia menyebut bahwa naskah dramanya merupakan naskah drama cerdas, ia harus didukung oleh kecerdasan sang sutradara menjembatani amanat ACN dengan penonton. Sutradara dan aktor dituntut berpikiran cerdas dan piawai.

Dalam masalah panggung misalnya, sutradara mencoba mengimbangi kekurangan tata artistik dengan guyonan dan lelucon, misalnya dalam tokoh ulama (saya tidak tahu yang sebenarnya siapa, tapi penampilannya seperti ulama). Karena ketiadaan efek angin untuk menggerakan jubahnya, ia mencoba menutup kekurangan tersebut dengan menyuruh seseorang untuk menggerakannya. Mungkin kedengarannya aneh dan kelihatan bodoh sang sutradara menyuduhkan adegan tersebut tanpa efek. Tapi ia berpikir lain, orang yang menggerakan jubah tersebut dipaksa naik panggung, dan menyuruh aktor lain untuk mengomentarinya “Hei, ulama bawa juga pelayan yang menggerakan jubahmu itu”, kira-kira seperti itu dialognya. Namun yang pasti ia tidak menghadirkan kekurangan sebagai lahan untuk menabur benih kebodohan, justru menambah kelebihan, hingga saya berkata “Waw menakjubkan”.

Dalam aspek lain, seni musik juga dihadirkan dengan apik. Saya teringat ketika menonton film mafia Hollywood kental dengan lagu ghotic, atau bahkan lagu James Bond. Tapi dalam mafia Indonesia, ia menghadirkan lagu dangdut sebagai pengiring jalan cerita. Memang benar apa yang dilakukan sutradara bahwa unsur lokalitas terkadang menjadi senjata ampuh untuk membuat decak kagum penonton.

Umang-umang sebuah filosofi hidup
Apalah artinya sebuah karya jika tak membawa pesan moral atau setidaknya esensi hidup. Mungkin itulah yang terpikirkan oleh ACN, karena pada hakikatnya penonton membutuhkan sebuah suguhan isi cerita yang disampaikan mengandung bobot filosofis yang bisa menambah bagasi pengetahuan. Sama halnya dengan teater ini. Penuh dengan nilai dan esensi hidup.

Saya mengawali dengan tokoh Waska, yang menjadi sentral pertunjukan tersebut. Tokoh Waska hadir sebagai tokoh yang penuh pemberontakan, ia senantiasa mengayomi kaum marjinal untuk merampas kekayaan kaum konglomerat. Bisa saja ini bentuk kebiadaban, namun lagi-lagi saya berpikir dekonstruktif. Jika seandainya yang menonton adalah kaum berada, sudah barang tentu mereka akan mendalami tokoh Waska sebagai seorang yang membutuhkan uluran tangan, sehingga ia rela merampok.
Tokoh ini bahkan hadir pergolakan batin antara kehidupan seniman dan dunia kaum terpinggirkan, saya selalu teringat sajak Rendra “Penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan”.

Tentu saja ACN tidak meniru gaya Rendra dalam mengkritik fungsi dan kepekaan seorang penyair. Ia bahkan berpikir lebih kritis lagi, bahwa kehadiran penyair yang membawa penderitaan rakyat dan kehidupan kaum marjinal, hanyalah sebuah kedok untuk mendongktak populariras, mereka hanya memanfaatkan nama, setidaknya itulah yang terpikirkan ACN.

Lebih jauh lagi saya akan membongkar filosofi umang-umang, mengapa ACN rela memberi judul drama tersebut dengan judul yang aneh dan kurang populer. Mungkin ACN senang memberi judul yang penuh kontroversi dan berada dalam dimensi anomali. Umang-umang hanyalah binatang laut yang tidak mempunyai tempat tinggal, bahkan cangkang yang selalu ia bawa hanyalah pinjaman dari sisa hidup binatang lain.

Hiduplah sederhana seperti umang-umang, itulah mungkin yang hendak diangkat oleh ACN. Kesederhaan begitu penting dalam esensi hidup. Namun seperti yang telah saya ulas, bahwa ACN tidak puas dengan nilai-nilai yang universal, ia senang berkecimpung di sisi absurdisme. Bahwa dengan kesederhanaan manusia tidaklah cukup, ia harus memberontak, bahkan memberontak kepada Tuhan agar ia tidak mati. Tapi saya dapat menikmati suguhan esensi drama ini bahwa “hidup adalah sebentuk keabadian yang tak pantas untuk dimiliki. apalah artinya hidup jika tidak mati”



6 komentar:

Al-Mauki mengatakan...

keran bro,
Judul'y ngagetin, ketipu w..
wkwkwk...

Lirik Lagu Indonesia mengatakan...

Semoga Sukses Segala Kinerjanya

Terus Berkarya
----------------->
Salam Sastra

Kumpulan Puisi Acep Zamzam Noor, Artikel Budaya, Artikel Sastra, Artikel Sosial,

Artikel Seni, Lukisan Acep Zamzam Noor dapat di update pada Blog

http://acepzamzamnoor.blogspot.com

Selamat Berapresiasi
----------------------------

Salam musik Indonesia

band ternama, directory pop, lirik pop, lagu pop, pop lyric, free pop lyric, lirik

pop gratis, kumpulan lirik pop, lirik pop melayu, tembang pop lengkap ada di

http://popindonesia.co.cc

Selamat Bersenandung Ria
------------------------------

Salam Dangdut

goyang dangdut, directory dangdut, lirik dangdut, jago dangdut, dangdut lyric, free

dangdut lyric, lirik dangdut koplo, direktori lirik dangdut, hot dangdut lengkap

bisa dikunjungi di http://goyangdangdut.co.cc

Salam Dangdut
---------------------

Salam Karya

Kumpulan puisi, Kumpulan Cerpen, Artikel Bebas, Gita Lirik, Otodidak Computer

silakan kunjungi di http://kobongsastracipasung.blogspot.com

Selamat Berapresiasi
------------------------

Terima Kasih

Anonim mengatakan...

Saya tertarik sama tulisan2nya mas Hendry,,, jadi ingin tau biografinya ,,, boleh,,,?

oginatajagat mengatakan...

keren, saya baru baca. ijin copas di blog ya.

yussak anugrah mengatakan...

iseng iseng mengetik Umang Umang dan teater lakon yang mengantarkan saya pada blog ini. terima kasih sudah mengingatkan saya pada memori tujuh tahun lalu.

Nasi Kotak Semarang mengatakan...

pada hakikatnya ,,kita semua akan mati :)

Posting Komentar

Terima kasih sudah bergabung bersama kami. Komunitas Anak Sastra