Cerpen Humam S Chudori : GADIS

Cerpen Humam S Chudori
Koran republika 26-10-2008

Andika masih duduk mematung di ruang tamu. Ia seperti tak percaya pada peristiwa yang baru saja dialaminya. Untuk ke sekian kalinya ia merasa tidak berdaya menghadapi istrinya sendiri.
Terbayang lagi peristiwa yang belum lama berselang, tatkala lelaki yang tengah memanfaatkan cuti tahunan itu bertanya kepada istrinya yang hendak keluar rumah.
"Mau kemana, Ma?" tanya Andika.
"Kalau mau makan beli saja di warung," kata Menik, ketus.
"Yang Papa tanya...."
"Papa tanya seperti itu kan, ujung-ujungnya akan tanya Mama sudah masak belum?" potong Menik, "Iya, kan?"
"Lawan dong, Pa!" seru Gadis, membuyarkan lamunan papanya.
Ayah tiga orang anak itu tersentak. Ia tidak menduga kalau anak sulungnya sudah ada di ruang tamu.
"Di sini Papa kepala keluarga. Papa pemimpin," tambah Gadis.
Andika tetap diam. Masih duduk mematung di kursi.


sudah ada di ruang tamu.
"Di sini Papa kepala keluarga. Papa pemimpin," tambah Gadis.
Andika tetap diam. Masih duduk mematung di kursi.
"Bukan sekali ini Mama berbuat seperti itu kepada Papa, kan?"
Andika tetap bergeming. Ia sudah tidak ingat lagi, sejak kapan Menik berani bicara kasar terhadap dirinya. Yang diingatnya, Menik mulai berubah perangai setelah sering berkumpul dengan ibu-ibu dalam arisan erwe. Setelah Menik bergaul akrab dengan Monika dan Kurnia.
Sejak akrab dengan kedua janda itu Menik mulai berani melawan Andika. Sebetulnya Andika tak ingin istrinya aktif dalam kegiatan erwe. Namun, ia tak mampu melarangnya. Selain merasa tidak enak dengan Sentot, ketua rw, ia tidak ingin cekcok dengan istrinya.
Andika sadar jika dirinya sudah kehilangan kontrol, bisa melakukan apa saja. Bukan hanya barang pecah belah yang dijadikan sasaran pelampiasan kekesalannya. Melainkan juga tubuh istrinya. Tetapi, itu dulu. Sebelum Menik bergaul akrab dengan Kurnia dan Monika.
Anehnya, setelah Andika tidak pernah marah, kelakuan Menik berubah total, sering menantang suaminya. Apalagi setelah Menik tahu jika kekerasan dalam rumah tangga dapat diajukan ke meja hijau. Andaikata suaminya kembali menyakiti dirinya, ia tidak akan segan-segan memperkarakannya ke pengadilan.
"Coba saja Papa berani kasar seperti dulu lagi," kata Menik, tiap kali Andika berbicara agak membentak, "kekerasan dalam rumah tangga bisa diajukan ke pengadilan lho!"
Setelah mendapat ancaman seperti ini, Andika tak mau lagi meladeni istrinya. Tiap Menik bicara keras, Andika memilih diam. Ia tak ingin terpancing. Ia tak ingin melakukan tindakan konyol, menampar Menik seperti dulu, misalnya.
Andika tidak mau menampar istrinya lagi bukan semata-mata karena takut akan diperkarakan oleh Menik. Melainkan ia tidak ingin Gadis sampai tahu kalau papanya melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya. Andika khawatir Gadis akan mengalami trauma seperti Miranda.
Kakak sulung Andika itu tidak mau menikah hingga akhir hayatnya. Padahal, banyak pemuda yang berusaha mendekati Miranda. Tetapi, perempuan berkulit kuning langsat itu tidak pernah membuka pintu hatinya. Anak sulung Mariman itu selalu menghindar bertemu pemuda yang mengharapkan dirinya. Berbagai upaya dilakukan Mariman dan istrinya, membujuk Miranda agar mau berumahtangga, tapi gagal.
Apabila ada adiknya yang hendak menikah, Miranda tetap bergeming. Ia seperti tidak pernah punya rasa tertarik pada lawan jenisnya.
"Kalau mau nikah, nikah saja, gak usah mikirin kakak," kata Miranda, tiap kali ada adiknya minta izin hendak menikah.

Andika masih diam. Terbayang lagi perlakuan kasar yang dilakukan Mariman terhadap Hartini. Ya, bukan sekali dua kali Mariman memperlakukan istrinya dengan kasar. Bukan hanya dengan bentakan, hardikan, membanting pintu, atau membuat piring dan gelas pecah berantakan. Adakalanya ia melayangkan tangan ke tubuh istrinya. Hingga tidak jarang orangtua perempuan Andika itu kesakitan dan menangis.
Andika tidak tahu sejak kapan sang bapak berlaku kasar terhadap ibunya. Yang pasti, ia sering melihat bapaknya marah-marah. Tidak jarang ia melihat bapaknya membanting piring atau gelas.
Andika pernah melihat ibunya mengiris-iris bawang sambil menangis, tatkala ia pulang sekolah. Namun, Hartini mengatakan dirinya tidak apa-apa.
"Orang kalau mengiris bawang merah ya seperti ini, Nak," aku Hartini.
Sebetulnya Andika tidak percaya pada pengakuan sang ibu, lantaran ia melihat pipi kanan ibunya memar. Tetapi, ia tak ingin mendesak ibunya dengan pertanyaan lain. Ia tidak ingin bertanya kenapa pipi ibunya berwarna merah.
"Memang kalau orang mengiris bawang bisa menangis, Kak?" tanya Andika yang saat itu masih duduk di kelas satu esde, kepada Miranda, "Kok ibu tadi menangis waktu mengirisi bawang merah."
Miranda mengangguk.
"Pipinya juga merah?" desak Andika.
Miranda diam. Ia bingung untuk menjelaskan peristiwa yang dilihatnya ketika adik-adiknya yang lain masih ada di sekolah. Waktu itu, Miranda pulang sekolah agak awal, sehingga ia menyaksikan sendiri sang bapak menampar orangtua perempuannya.
"Betul begitu, Kak?"
Miranda menggeleng.

"Bagaimana pun juga Papa tidak boleh lemah menghadapi Mama. Laki-laki tidak seharusnya seperti Papa," lanjut Gadis, sambil memasang tali sepatu, membuyarkan lamunan papanya.
"Kenapa Papa selalu mengalah sama Mama?" tanya Gadis.
Andika masih diam.
"Kenapa, Pa? Papa takut sama Mama?" desak Gadis.
Andika tetap bergeming.
"Kenapa selama ini Papa tak berani melawan?" ulang Gadis, mencecar papanya, "Papa di rumah ini pemimpin, Pa."
"Iya, papa tahu Nak."
Gadis diam. Andika diam. Hening sejenak.
"Kalau selama ini Papa mengalah bukan tidak ada maksudnya. Bukan Papa takut sama mama kamu. Tapi, Papa justru takut sesuatu terjadi padamu."
Gadis masih diam. Ia belum tahu arah pembicaraan orangtua laki-lakinya.
"Papa takut khilaf, Dis. Bisa saja Papa kalap jika mama kamu seperti itu, diajak ngomong baik-baik jawabannya selalu seperti itu. Nah, kalau emosi Papa tidak terkontrol, lalu papa berbuat sesuatu yang tidak seharusnya tidak dilakukan. Bagaimana?"

"Kalau tindakan itu harus diambil kenapa tidak dilakukan?" desak Gadis, "Yang penting niat Papa bukan untuk menyakiti. Melainkan untuk mendidik agar Mama punya sopan santun. Supaya Mama bisa menghargai Papa."

"Yang Papa khawatirkan...." Andika tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Ya, sudah. Tak usah dibahas. Buat apa dibahas kalau memang Papa takut sama Mama," lanjut Andika setelah lama terdiam, "Tidak ada artinya kita bicarakan."

Gadis diam. Mahasiswa semester empat sebuah perguruan tinggi itu tidak habis pikir dengan alasan yang dikemukakan papanya. Namun, ia tak hendak berdebat dengan papanya. Sebab ia sedang bersiap-siap hendak berangkat ke kampus.

Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut di kerling wanita

Terngiang lagi potongan lagu itu di telinga Gadis. Lagu yang sering didendangkan oleh Santi, sahabat Gadis ketika mereka masih sama-sama duduk di bangku SMU. Tanpa berkata apa-apa lagi anak pertama Andika itu keluar rumah. Berangkat kuliah. Menuju ke kampus. Meninggalkan sang papa yang tengah memikirkan perubahan sikap istrinya.
Namun, kali ini bukan hanya perubahan kelakuan istri yang dipikirkan Andika. Melainkan juga perubahan sikap anaknya sendiri.


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah bergabung bersama kami. Komunitas Anak Sastra