Di tangan seorang sastrawan, rangkaian kata-kata adalah suatu keterpaksaan. Meskipun ia dikenal sebagai orang yang memilih kata-kata sebagai ekspresi kehidupan, rangkaian kata ternyata tak pernah dapat mengungkapkan secara utuh kedalaman rasa kemanusiaan yang dialaminya.
Kondisi inilah yang rupanya telah memicu James Joyce menulis sebuah kalimat yang ‘aneh’ dalam salah satu karyanya: From quiqui quinet to michemiche chelet and a jambebatiste to a brulobrulo! Tak ada pemaknaan yang pas dalam bahasa apapun untuk kalimat itu. Hal ini juga kita temukan dalam sajak yang teramat pendek oleh Sitor Situmorang: MALAM LEBARAN/ Bulan di atas Kuburan.
Tradisi pemadatan kata dan pemaknaannya yang tanpa batas ini sebenarnya telah lama terdapat dalam sajak-sajak haiku Jepang. Model puisi yang dikembangkan oleh para pendeta Zen ini memang dianggap tepat untuk mengekspresikan kedalaman perenungan mereka tentang kehidupan. Cukup dalam tiga atau empat baris kalimat, medan tafsir yang dihamparkannya pun tak bertepi. Mungkin benar yang dikatakan Archibald Macleish tentang puisi-puisi semacam ini: A poem should be wordless/ like the flight of birds.
Dalam kebimbangan antara perenungan dan pengungkapan itulah seorang sastrawan berada dalam sebuah dilema laiknya Hermes, dewa penyampai pesan dalam mitologi Yunani, di hadapan Zeus. Dalam mitologi tersebut, Hermes pernah berjanji kepada Zeus untuk tidak berbohong, namun ia tidak dapat berjanji untuk menyampaikan semua kebenaran.
Jika demikian, dengan semua beban berat kebenaran yang kerapkali tak tersampaikan ini, apakah para sastrawan bahagia dengan hidupnya? Dapatkah diartikan dengan banyaknya karya-karya liris nan tragis yang dilahirkan, sesungguhnya mereka sedang meratapi nasibnya sendiri? Dugaan ini dapat semakin kuat jika kita melihat sejarah kehidupan para sastrawan ini yang kebanyakan juga berlangsung dan berakhir tragis.
Kita tentu telah mendengar bagaimana akhir kehidupan Ernest Hemingway, Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, dan Virginia Wolf, ketiganya bunuh diri dalam kesunyian. Demikian juga dengan Maxim Gorky, Knut Hamsun, Leo Tolstoy dan Basho, yang menjalani atau memilih hidup dalam kesunyian dan kemiskinan hingga akhir hayatnya.
Sementara itu, tafsir kebenaran sepihak atas karya sastra juga telah memakan korban penulisnya sendiri. Federico Garcia Lorca, penyair Spanyol, telah ditembak mati dan hingga kini tak diketahui kuburannya hanya karena karyanya dicap memihak komunisme oleh rezim Franco, dan Widji Thukul yang sajak-sajak perlawanannya telah membuatnya raib hingga kini hanyalah dua orang dari daftar yang kelewat panjang untuk disebutkan di sini.
Tentu sangat sulit bagi kita untuk mengukur kebahagiaan hidup seseorang, juga dalam problematika para sastrawan ini. Namun, saya lebih suka membayangkan nasib mereka itu serupa dengan nasib Sisifus dalam mitologi Yunani. Di sana diceritakan bahwa para dewa telah menghukum Sisifus untuk terus-menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung. Karena beratnya, batu itu pun menggelinding kembali ke kaki gunung. Sisifus harus turun dan mendorongnya kembali ke puncak gunung. Tak ada hukuman yang lebih mengerikan dan penuh kesia-siaan daripada hukuman yang telah menimpa Sisifus.
Ironisnya, hukuman yang menimpa Sisifus ini bukanlah semata-mata karena kesalahannya. Sebab, bagi umat manusia, Sisifus adalah seorang pahlawan yang telah memberikan berkah air yang disimpan para dewa ketika manusia mengalami kekeringan panjang. Ia juga telah memasung Dewa Kematian untuk menghilangkan duka manusia ketika ditinggal orang-orang yang dicintainya.
Kita tentu mengira bahwa Sisifus sangat menderita dan menyesali segala kesalahannya. Dan itu memang sudah selayaknya. Namun, pandangan itu tidak berlaku bagi Albert Camus. Dalam bukunya Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas (diterjemahkan oleh Apsanti D., 1999), Camus mengajak kita untuk memandang Sisifus dengan cara yang lain: Kita harus membayangkan Sisifus bahagia.
Bagi Camus, Sisifus telah menjadi pahlawan absurd, baik karena nafsunya maupun karena kegelisahan pikirannya. Seluruh kegembiraan bisu Sisifus terletak di sana. Nasibnya adalah miliknya. Dan batu itu telah menjadi dirinya sendiri. Titik itu adalah titik tertinggi munculnya kesadaran; ia lebih tinggi dari takdirnya dan lebih kuat daripada batunya. Dimanakah sebenarnya penderitaan jika harapan untuk berhasil selalu menopangnya di setiap langkah?
Jika kita mengganggap batu besar yang memberati Sisifus adalah beban kebenaran yang dirasakan oleh para sastrawan, tentu tak sulit kalau kita juga menganggap bahwa, seperti halnya Sisifus, para sastrawan ini bahagia. Bukankah hingga akhir hayatnya mereka tetap saja menuliskan karya-karyanya? Meskipun beban kesadaran akan kebenaran-kebenaran yang tak tersampaikan selalu menghantui dirinya.
Kesadaran ini sesungguhnya telah diketahui oleh mereka, maka tak berlebihan jika dalam bait terakhir sajaknya, Derai-Derai Cemara, Chairil Anwar menulis: Hidup hanya menunda kekalahan/ Tambah jauh dari cinta sekolah rendah/ Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/ Sebelum pada akhirnya kita menyerah.
Di New York pada 1929, Lorca juga telah meramal kematiannya, bahwa ia akan dibunuh dan jasadnya tak akan pernah ditemukan. Hidup adalah gelak tawa di tengah-tengah tasbih kematian, tulisnya. Dari New York, Lorca pun pulang ke Granada, memenuhi tantangan sang maut. Di tangan Rezim Franco, jasadnya tak pernah kembali.
Sastrawan dan Sisifus, Dua Manusia Absurd
Diposting oleh henscyber di 5/24/2008 06:23:00 AM
Label: Sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar