Sastra, suatu komunikasi seni yang hidup bersama bahasa. Tanpa bahasa, sastra tak mungkin ada. Melalui bahasa ia dapat mewujudkan dirinya berupa sastra lisan, maupun tertulis. Oleh karena perwujudan karya sastra menggunakan bahasa, maka orang sering bertanya; “Sifat dan warna bahasa yang bagaimanakah yang dipergunakan oleh sastra, sehingga isi yang dibawakannya begitu sulit dikunyah oleh otak?”
Mengapa hasil-hasil sastra yang sampai pada kita atau pembaca, isinya begitu menukik, dan begitu cantik? Jawabannya tak lain, karena bahasa yang dipergunakannya jauh berbeda dengan bahasa pada buku-buku sosial lainnya. Sifat bahasa pada ilmu-ilmu di atas pada hakekatnya setiap kata bertugas menterjemahkan arti benda yang ditunjukannya. Setiap kata hanya memiliki arti pusat yang ditunjuk oleh kata itu.
Antara kata dan benda yang ditunjukanya langsung, bersatu, tak berjarak. Jalan bahasanya berdasarkan hukum akal, sebab akibat, karena setiap kata mengemban tugas yang ketat yakni arti pokok yang disebut kata itu.
Pada ilmu pasti, jelas sekali betapa ketat penggunaan bahasa. Logika mengawasinya kata-kata yang tersusun secara tepat. Bahasanya logis, hubungan kalimat dengan kalimat harus bersifat menerangkan, menjelaskan setiap perihal yang didukungnya. Pembaca pun yang menekuni Ilmu Pasti harus menggunakan akal pikirannya semaksimal mungkin. Ia harus mampu menerjemahkan rumus-rumus, hukum-hukum kausal, yang ada pada bahasa matematika itu ke dalam otaknya. Semuanya seba akal serba rasional.
Pada sastra, tidak demikian. Sastra membawa bahasa dengan sifatnya sendiri. Untuk memahami sifat bahasa sastra perlu mengikuti keterangan berikut,\:
Kalau kita teliti keadaan diri kita akan ada kesimpulan bahwa manusia selain mempunyai akal selain alat berpikir, juga mempunyai perasaan yang penuh dengan segala aspeknya. Akal dan perasaan ini, dalam beraksi dengan mereaksi masing-masing mempergunakan bahasa sendiri-sendiri. Untuk menyatakan jalan pikiran misalnya, manusia mempergunakan bahasa denotatif. Dan untuk mengungkapkan gejolak perasaan yang dalam ia menggunakan bahasa konotatif.
Apakah bahasa denotatif dan konotatif itu?
Bahasa denotatif, ialah bahasa untuk mengutarakan akal pikiran kita. Bahasa ini dipakai dalam buku-buku ilmu sosial, surat menyurat dinas dan lain-lain. Sedang bahasa konotatif, karena sifatnya yang mendukung emosi/perasaan maka pengutaraanya berhubungan erat dengan suasana jiwa. Hal ini sering kita baca dalam hasil-hasil karya sastra seperti cerpen, esei dan puisi. Ungkapan kata-kata dalam bahasa konotatif tidak hanya memiliki makna, tetapi juga berisi simbol-simbol. Bahasa konotatif tidak mementingkan arti, tetapi mementingkan bobot dan gaya serta keluasaan tapsiran. Klimaks daripada bahasa konotatif ini dapat kita jumpai dalam puisi.
Sastra, cenderung menggunakan kedua cara berbahasa diatas, tetapi yang paling dominan adalah penggunaan bahasa konotatif, yakni bahasa yang mendukung emosi dan suasana hati. Setiap ungkapan di dalam hasil sastra, kata-kata tidak hanya terikat oleh arti pusat saja, tetapi kadang-kadang mempunyai arti imajinatif. Matahari misalnya, kadang-kadang bukan matahari dalam arti fisik, tetapi matahari dalam angan-angan, atau matahari yang lain. Demikianlah karya sastra tercipta akibat pertemuan dunia batin pengarang dengan dunia batin sumber ilham.
Karena itu kadang-kadang ungkapan-ungkapan dalam novel terutama dalam puisi tidak lagi tunduk dalam hukum-hukum tata bahasa tetapi terpaksa menempuh jalannya sendiri demi untuk mencapai tujuan keindahan yang dikejar oleh penulisnya.
Membaca cerita yang baik kadang-kadang tanpa sadar kita ikut mencucurkan air mata terhadap karakternya yang diperankan oleh seorang tokoh. Tak lain karena hasil sastra itu telah datanga pada kita dengan dua cara berbahasa.
1. Memasuki akal pikiran kita dengan bahasa denotatif.
2. Menuruni ke dalaman jiwa kita lewat bahasa konotatif.
Inilah barangkali Rahasia Bahasa Sastra yang sering datang samar-samar.
Daftar Pustaka
Drs, Pesu Aftarudin dalam bukuya PENGANTAR APRESIASI PUISI
0 komentar:
Posting Komentar