Sajak adalah puisi tetapi puisi belum tentu dia itu sajak, boleh kita menyimpulkan demikian. Puisi (bahasa Inggris: Poetry) mungkin saja terdapat dalam prosa seperti cerpen, novel atau esai. Sehingga sering orang mengatakan : pengaran mengungkapkan segala sesuatunya secara puistis sekali.
Misalnya kita jumpai dalam Lelaki Tua dan Laut, karya Hemingway:
Kemudian ia merasa kasihan kepada ikan besar yang tak punya apa pun untuk dimakan itu dan tekadnya untuk membunuhnya tak pernah kendor karena rasa kasihannya itu.
Berapa banyak orang yang akan memakan dagingnya nanti, pikirnya. Tetapi apakah mereka berhak memakannya? Tidak, tentu saja tidak. Tingkah serta harga dirinya terlalu tinggi bagi mereka dan tak seorang pun berhak memakannya
Aku tak paham semua ini, pikirnya. Kita beruntung bahwa tidak harus mencoba membunuh matahari atau bulan atau bintang-bintang. Cukuplah hidup di laut membunuh saudara-saudara kita yang sejati. (terjemahan Sapardi Djoko Damono, Pustaka Jaya, hal 57).
Suatu pengungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat, di mana kata-kata condong pada artinya yang konotatif-itulah sebenarnya yang kita maksudkan dengan puisi. Beda dengan ilmu yang mengutamakan pemakain kata-kata menurut pengertiannya yang denotatif, sebagaimana tercantum alam kamus. Cobalah renungkan apa yang dikatakan oleh Alexis de Tockuaville tentang puisi: Puisi ialah hal mencari dan melukiskan “yang diidamkan” (the ideal). Dengan demikian tujuan puisi bukanlah melukiskan kebenaran, melainakn memuja kebenaran dan “memberi jiwa” sesuatu gambaran yang lebih indah. Sajak yang dianggap sebagai keindahan bahasa yang sempurna bisa amat puitis. Tetapi sajak it sensiri bukanlah puisi.
Prosa pada dasarnya menyodorkan suatu cara pengungkapan yang explisit, mengurai atau menjelaskan segala sesuatunya. Meskipun sama-sama menerapkan pengungkapan secara explisit, antara prosa dengan penulisan ilmiah tampak perbedaan dalam segi penerapan keindahan bahasa dan kalau kita mengambil perbandingan dengan gerak tubuh, maka pada prosa semisal orang menari, sedangkan pada ilmu adalah gerak tubuh sebagaimana yang wajar.
Kalau dalam puisi kita berhadapan dengan suatu cara pengungkapan yang menyirat, maka dalam sajak kita tidak saja berhadapan dengan cara pengungkapan yang menyirat, tetapi juga menghadapi “materi isi” atau lebih tepatnya “sunjct-matter” yang tersirat. Apa itu yang berada di balik siratan pada hakikatnya tidak dapat kita uraikan atau analisa secara tuntas, penuh kabut. Sajak adalah cermin ajaib, ketika manusia berkaca tampak sosok dirinya dalam masa lalu, masa kini, masa mendatang bergalau disaputi kabut. Religi merupakan cermin perasaan, filsafat merupakan cermin pikiran dan dalam realita hidup yang fana ini perasaan dan pikiran tidak mungkin terpisah-pisah, keduanya campur-aduk dan manusia pada akhirnya butuh sebuah cermin lagi-sajak, poem.
Apakah sajak itu? Tidak ada satudefinisipun yang bakal dapat menjawabnya dengan empurna, kecuali jawaban penyair Boris.... dalam sajaknya yang berjudul Batasan Sajak
Sajak adalah siul melengking curam
Sajak adalah gemertak kerucut salju beku
Sajak adalah dau-daun menges sepanjang malam
Sajak adalah dua ekor burung malam menyanyikan duel
Sajak adalah manis kacang kapri mencekik mati
Sajak airmata dunia di atas bahu
(terjemahan Taufik Ismail)
Sumber Artikel Tulisan
*Mata Kuliah Kajian Puisi Dosen Ma’mur Saadi
*Buku Apresiasi Puisi dan Prosa Karya Putu Arya Tirtawirya
0 komentar:
Posting Komentar